Nabi ﷺ bersabda :
«أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟» قَالُوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: «ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ» قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ؟ قَالَ: «إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ، فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ»
“Tahukah kalian, apa ghibah itu ? Para sahabat menjawab : Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Beliau bersabda : Ghibah itu adalah engkau menyebutkan tentang saudaramu dengan sesuatu yang ia benci. Seseorang bertanya : Bagaimana menurut anda, jika orang yang aku bicarakan tentangnya itu memang sesuai dengan yang aku sampaikan ? Beliau berkata : Apabila benar apa yang engkau bicarakan itu ada padanya, maka berarti engkau telah meng-ghibah-nya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka engkau telah membuat-buat kebohongan terhadapnya”.
(HR. Muslim no. 2589).
Penjelasan dan Faidah Hadits :
1. Sabda Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa sallam : “Tahukah kalian, apa ghibah itu ?
Penjelasan :
والسؤال والجواب من أعلى أساليب التعليم والتربية
“Soal-jawab adalah diantara cara/metode terbaik dalam pembelajaran dan pendidikan”.
(Syarah Al-Arba’in An-Nawawiyah : 40/3 dengan penomoran Asy-Syamilah, karangan Syaikh Athiyah Muhammad Salim (عطيّة محمد سالم)).
2. Perkataan : “Para sahabat menjawab : Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”.
Penjelasan (Sangat Penting) :
- Ucapan : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui” adalah diantara adab yang diucapkan ketika seseorang ditanya tentang sesuatu YANG BERKAITAN DENGAN PERKARA AGAMA yang tidak ia ketahui.
- Ucapan : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui” DISYARIATKAN ketika Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa sallam masih hidup.
* Akan tetapi, ucapan : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui” setelah Nabi ﷺ wafat, apakah disyariatkan ?
- Sebagian ulama membolehkannya.
- Sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa YANG LEBIH BAIK adalah hanya mengucapkan : “Allaahu A’lam (Allah yang lebih mengetahui), karena Beliau Shalallahu 'Alaihi Wa sallam tidak mengetahui apa yang terjadi setelah sepeninggalan Beliau Shalallahu 'Alaihi Wa sallam.
https://www.youtube.com/watch?v=bx_1ObYWVCE
https://www.youtube.com/watch?v=DQ5ykqXDsl8
https://www.youtube.com/watch?v=0tS39Wt7YaI
* Adapun jika yang ditanyakan adalah perkara ghaib yang Allah semata yang mengetahuinya, maka kita mengatakan : “Allaahu A’lam” dan TIDAK BOLEH mengatakan : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui” karena Nabi ﷺ tidak mengetahui perkara ghaib.
https://www.youtube.com/watch?v=9jVkevQBRXc
3. Sabda Nabi ﷺ : “Ghibah itu adalah engkau menyebutkan tentang saudaramu dengan sesuatu yang ia benci”
Penjelasan :
("ذِكْرُكَ) أي : أن تذكر أيها المخاطب خطابًا عافًا بلفظ، أو كتابة، أو رمز، أو إشارة، أو محاكاة
(أَخَاكَ) : في الدِّين في غَيْبته
(بِمَا يَكْرَهُ") أي : بالشيء الذي يكرهه أخوك لو بلغه في دِينه، أو دنياه، أو خَلْقه، أو خُلُقه، أو أهله، أو خادمه، أو ماله، أو ثوبه، أو حركته، أو طلاقته، أو عبوسته، أو غير ذلك، مما يتعلق به، سواء ذَكَره بلفظ، أو إشارة، أو رمز.
“(Engkau menyebutkan) Yaitu : Engkau menyebutkan wahai yang berbicara, suatu percakapan yang tidak disukai, baik dengan kata-kata, tulisan, tanda/lambang, isyarat atau persamaan.
(Saudaramu) : Dalam agama, dan dalam keadaan ia tidak hadir (ditempat tersebut).
(Dengan sesuatu yang ia benci) : Yaitu : Dengan sesuatu yang dibenci oleh saudaramu jika hal tersebut sampai kepadanya, baik tentang agamanya, dunianya, fisiknya, akhlaknya, keluarganya, PEMBANTUNYA, hartanya, pakaiannya, atau tentang gerak-geriknya, cara bicaranya, raut wajahnya atau yang selainnya, yang berkaitan dengannya, baik ia menyebutkannya dengan kata-kata, isyarat atau dengan tanda/lambang”.
(Al-Bahrul Muhith Ats-Tsujaj : 40/624-625).
4. Perkataan : “Seseorang bertanya : Bagaimana menurut anda, jika orang yang aku bicarakan tentangnya itu memang sesuai dengan yang aku sampaikan ? Beliau berkata : Apabila benar apa yang engkau bicarakan itu ada padanya, maka berarti engkau telah meng-ghibah-nya”
Penjelasan :
Dosa ghibah adalah diantara dosa-dosa besar, bahkan lebih besar dosanya daripada dosa RIBA dan ZINA.
Mengapa demikian ?
Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda :
إِنَّ الدِّرْهَمَ يُصِيبُهُ الرَّجُلُ مِنَ الرِّبَا أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ فِي الْخَطِيئَةِ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِينَ زَنْيَةً يَزْنِيهَا الرَّجُلُ، وَأَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Sesungguhnya 1 dirham yang diperoleh seseorang dari hasil riba, lebih besar dosanya di sisi Allah daripada berzina sebanyak 36 kali, dan dosa yang paling besar dari riba adalah seseorang yang menjatuhkan kehormatan seorang muslim”.
(Hadits Shahih).
(HR. Ibnu Abi Ad-Dunya (ابن أبي الدنيا) dalam Dzammul Ghibah Wan Namimah (ذم الغيبة والنميمة) no. 37, Ahmad no. 1651, Abu Dawud no. 4876 dan yang lainnya. Lihat Shahih At-Targhib no. 1856).
Dalam hadits yang lain, Beliau Shalallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda :
الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا، أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ، وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba itu memiliki 73 pintu, yang paling ringan (dosanya) adalah seperti seorang laki-laki yang berzina dengan ibu kandungnya, dan dosa riba yang paling besar adalah seseorang yang menjatuhkan kehormatan seorang muslim”.
(Hadits Shahih).
(HR. Al-Hakim no. 2259 dan Al-Baihaqi no. 5131. Lihat Shahih Al-Jami’ no. 3539).
Syaikh ‘Alawi bin Abdil Qadir As-Saqqaf menjelaskan :
“الرِّبا ثلاثةٌ وسَبْعونَ بابًا"، أي: إثمُ الرِّبا على ثلاثةٍ وسبْعينَ درَجةً،
“Riba itu memiliki 73 pintu”, yaitu : Bahwa riba memiliki 73 tingkatan dosa,
“وأيسَرُها"، أي: أهوَنُ هذه الدَّرجاتِ وأدْناها في الإثمِ،
“Yang paling ringan (dosanya)”, yaitu : Yang paling ringan dan paling rendah dosanya dari tingkatan-tingkatan tersebut”,
“مِثلُ أنْ يَنكِحَ الرَّجلُ أُمَّه"، أي: ذَنْبُه يكونُ مُساوِيًا لمَن وقَعَ على أُمِّه ووَطِئَها، ولا شَكَّ أنَّ هذا ذَنْبٌ عظيمٌ جدًّا؛ فدَلَّ على عِظَمِ ذَنبِ الرِّبا وعَظيمِ خَطرِه،
“Seperti seorang laki-laki yang berzina dengan ibu kandungnya”, yaitu : Dosanya sama dengan orang yang berzina dengan ibu kandungnya, dan hal ini tidak diragukan bahwa dosanya sangat besar, sehingga menunjukkan akan besarnya dosa riba dan besarnya bahayanya”
هذا يدل على أن حرمة الرِّبا أشد من حرمة الزنا، لكن كثيرا من الناس يستعظمون جريمة الزنا، ويتهاونون بالربا.
قال الطيبي : إنما كان الرِّبا أشدَّ من الزنا، لأن فاعله حاول محاربة الشارع بفعله، قال تعالى {فَأذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللهِ وَرَسُولِهِ} أي: بحربِ عظيمة.
“Ini menunjukkan bahwa keharaman riba lebih keras daripada keharaman zina, akan tetapi kebanyakan manusia hanya menganggap besar dosa zina dan menganggap remeh dosa riba.
Ath-Thibi berkata : Alasan mengapa riba lebih keras (larangannya) daripada zina, karena pelaku riba berusaha untuk mengadakan perang kepada Pembuat Syariat (yaitu Allah Ta’ala). Allah Ta’ala berfirman : (Maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya (bagi pelaku riba -pent)) yaitu : Perang yang sangat besar”.
(Al-Jami’ Ash-Shahih Lis Sunan Wal Masanid : 5/146, Faydhul Qadir : 4/66).
ثم قال: "إنَّ أرْبى الرِّبا"، أي: إنَّ أشدَّ أنواعِ الرِّبا في الإثمِ وأعظَمَها ذنْبًا: "عِرْضُ الرَّجلِ المسلِمِ"، أي: احتِقارُه والتَّرفُّعُ عليه، والوقيعةُ فيه، وذِكْرُه بما يُؤذِيه أو يَكرَهُه بالغِيبةِ والنَّميمةِ.
Kemudian Beliau (ﷺ) bersabda : “Sesungguhnya dosa yang paling besar dari riba”, yaitu : Bahwa dosa yang paling berat dari tingkatan-tingkatan riba dan yang paling besar dosanya : “Adalah seseorang yang menjatuhkan kehormatan seorang muslim”, yaitu : Memandangnya rendah, menjatuhkan kehormatannya, memfitnahnya, serta menyebutkan hal-hal yang dapat menyakitinya atau yang membuatnya benci/tidak senang seperti meng-GHIBAH-nya atau melakukan Namimah kepadanya.
(https://dorar.net/hadith/sharh/119683).
Sehingga, jika dikatakan bahwa : Ghibah lebih besar dosanya daripada 36 kali berzina, maka hal tersebut benar sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi Shalallahu 'Alaihi Wa sallam.
# Mengapa dikatakan bahwa dosa Ghibah lebih besar daripada dosa Riba ?
إذا كانَ الرِّبا في المالِ مُحرَّمًا ومِن الكبائرِ؛ فإن تشبِيهَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم الوُقوعَ في الأعراضِ بالوقوعِ في الرِّبا المحرَّم هوَ على سَبيل المبالغةِ، وذلكَ لأنَّ العِرضَ أعزُّ وأغلى على الإنسانِ مِن المالِ؛ فيكونُ الوُقوعُ فيه أشدَّ ضَررًا وخُطورةً مِن الوقوعِ في رِبا المالِ.
“Jika riba dalam harta diharamkan dan termasuk diantara dosa-dosa besar, maka bentuk diserupakannya oleh Nabi ﷺ antara “Menjatuhkan kehormatan seseorang (seperti Ghibah -pent)” dan terjatuh dalam “Riba yang diharamkan” adalah bentuk menunjukkan sesuatu yang lebih besar dari itu, karena “kehormatan” adalah sesuatu yang paling dihormati dan paling mahal bagi seseorang daripada harta, sehingga menjatuhkan kehormatan seseorang lebih parah kerusakannya dan bahayanya daripada terjatuh didalam riba (yang berkaitan dengan) harta”.
(https://dorar.net/hadith/sharh/61189, ‘Aunul Ma’bud (عون المعبود) : 13/152).
5. Sabda Nabi ﷺ : “Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka engkau telah membuat-buat kebohongan terhadapnya”
Penjelasan :
وهو أشدّ من الغيبة
“Dan itu lebih parah daripada ghibah”.
(Al-Bahrul Muhith Ats-Tsujaj : 40/625).
Nabi ﷺ bersabda :
مَنْ قَالَ فِي مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
“Barangsiapa yang mengatakan pada diri seorang mukmin sesuatu yang tidak ada padanya, maka Allah akan menempatkannya dalam Rad-ghatal Khabal (رَدْغَةَ الْخَبَالِ)* hingga ia keluar (meninggalkan) dari apa yang ia katakan (dengan menunjukkan bukti dari apa yang dikatakannya tersebut -pent)”.
(Hadits Shahih).
HR. Abu Dawud no. 3597. Lihat Shahih Al-Jami’ no. 6196).
* Rad-ghatal Khabal (رَدْغَةَ الْخَبَالِ) = Campuran antara keringat, darah dan nanah dari penghuni neraka.
6. Ghibah yang dibolehkan :
Imam An-Nawawi berkata :
تُبَاحُ الْغِيبَةُ لِغَرَضٍ شَرْعِيٍّ وَذَلِكَ لِسِتَّةِ أَسْبَابٍ
“Dibolehkan ghibah dengan tujuan yang syar’i karena 6 alasan :
a. Mengadu tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang.
b. Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar.
c. Meminta fatwa, walaupun harus dengan menyebutkan kejelekan seseorang.
d. Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan (seperti kesesatan seseorang atau tulisan dan buku).
e. Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.
f. Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah dikenal dengan panggilan tersebut, seperti menyebutnya “si buta” atau yang lainnya. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik.
(Silahkan lihat : Syarah Shahih Muslim : 16/142-143).
- Semoga bermanfaat.