بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Tampilkan postingan dengan label Tanya jawab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tanya jawab. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Juli 2022

Gelar Haji

Tanya Jawab (29)
-----------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Apa hukum gelar haji bagi mereka yang berhaji? Apakah diperbolehkan menyebut Haji Fulan.. makasih

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Gelar haji atau hajah belum dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun sahabat. Bahkan menurut Syaikh Dr. Bakr Abu Zaid, gelar haji pertama kali beliau temukan di kitab Tarikh Ibnu Katsir ketika pembahasan biografi ulama yang wafat tahun 680an.

Lantas bagaimana hukum memberi gelar haji untuk mereka yang sudah berangkat haji?

Orang yang sedang melakukanhaji, disebut oleh Allah dalam al-Quran dengan sebutan Haji. Allah berfirman,

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman Haji dan mengurus Masjidil haram kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah?..” (QS. at-Taubah: 19).

Dr. Bakr Abu Zaid mengatakan,

وكلمة (( الحاج )) في الآية بمعنى جنسهم المتلبسين بأعمال الحج . وأما أن تكون لقباً إسلامياً لكل من حج ، فلا يعرف ذلك في خير القرون

Kata “Haji” pada ayat di atas maknanya adalah kelompok orang yang sedang melaksanakan amal haji. Sementara fenomena kata ini dijadikan sebagai gelar dalam islam bagi orang yang telah melaksanakan ibadah haji, tidak pernah dikenal di masa generasi terbaik umat islam (qurun mufadhalah).

Selanjutnya beliau menyebutkan perbedaan pendapat ulama mengenai gelar ini,

Pendapat pertama, gelar haji hukumnya dilarang.

Karena ini adalah gelar belum pernah dikenal di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan gelar ini dikhawatirkan memicu riya.

Dalam salah satu fatwanya, Lajnah Daimah pernah mengatakan,

أما مناداة من حج بـ: (الحاج) فالأولى تركها؛ لأن أداء الواجبات الشرعية لا يمنح أسماء وألقابا، بل ثوابا من الله تعالى لمن تقبل منه، ويجب على المسلم ألا تتعلق نفسه بمثل هذه الأشياء، لتكون نيته خالصة لوجه الله تعالى

Panggilan Haji bagi yang sudah berhaji sebaiknya ditinggalkan. Karena melaksanakan kewajiban syariat, tidak perlu mendapatkan gelar, namun dia mendapat pahala dari Allah, bagi mereka yang amalnya diterima. dan wajib bagi setiap muslim untuk mengkondisikan jiwanya agar tidak bergantung dengan semacam ini, agar niatnya ikhlas untuk Allah. (Fatwa Lajnah Daimah, 26/384).

Keterangan yang semisal juga pernah disebutkan Imam al-Albani – rahimahullah –, beliau melarangnya karena tidak ada di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pendapat kedua, gelar semacam ini dibolehkah, terlepas dari kondisi batin jamaah haji.

Dengan beberapa alasan,

a. Alasan keikhlasan itu alasan pribadi, dan berlaku bagi semua ibadah. Dalam arti, kita diperintahkan untuk mengikhlaskan ibadah apapun kondisinya, meskipun ibadah itu diketahui orang banyak.

b. Gelar tertentu untuk ibadah tertentu lebih bersifat urf (bagian tradisi), sehingga bisa berbeda-beda tergantung latar belakang tradisi di masyarakat.

Terkadang masyarakat memberi gelar untuk mereka yang telah melakukan perjuangan berharga atau memberi manfaat besar bagi yang lain. Misalnya, orang yang pernah berjihad disebut mujahid. Dulu peserta perang badar disebut dengan al-Badri. Meskipun perang badar sudah berakhir tahunan, gelar itu tetap melekat.

c. Tidak ada dalil yang melarangnya.

An-Nawawi mengatakan,

يجوز أن يقال لمن حج : حاج ، بعد تحلله ، ولو بعد سنين ، وبعد وفاته أيضاً ، ولا كراهة في ذلك ، وأما ما رواه البيهقي عن القاسم بن عبدالرحمن عن ابن مسعود قال : ((ولا يقولن أحدكم : إنِّي حاج ؛ فإن الحاج هو المحرم )) فهو موقوف منقطع

Boleh menyebut orang yang pernah berangkat haji dengan gelar Haji, meskipun hajinya sudah bertahun-tahun, atau bahkan setelah dia wafat. Dan hal ini tidak makruh. Sementara yang disebutkan dalam riwayat Baihaqi dari a-Qasim bin Abdurrahman, dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan, “Janganlah kalian mengatakan ‘Saya Haji’ karena Haji adalah orang yang ihram.” Riwayat ini mauquf dan sanadnya terputus. (al-Majmu’, 8/281).

Alasan bahwa gelar haji itu masuk urf (tradisi di masyarakat) pernah disampaikan as-Subki ketika membahas biografi Hassan bin Said al-Haji. Beliau mengatakan,

وأما الحاجي فلغة العجم في النسبة إلى من حج ، يقولون للحاج إلى بيت الله الحرام : حاجِّي

Gelar al-Haji ini menggunakan bahasa bukan arab, untuk mereka yang telah berangkat haji. Mereka menyabut orang yang bernah berhaji ke baitullah al-haram dengan Haji.. (Thabaqat as-Syafiiyah al-Kubro, 4/299)

Karena di Indonesia, bisa haji termasuk amal istimewa, mereka yang berhasil melaksanakannya mendapat gelar khusus Haji.

Demikian, Allahu a’lam.

Rabu, 22 September 2021

Hisab (Tanya Jawab)

 Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Apakah hari perhitungan itu hanya sehari ?"

Jawaban :

Memang hari perhitungan itu hanya sehari, akan tetapi sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun, sebagaimana difirmankan Allah Ta'ala.

"Artinya : Seorang peminta telah meminta kedatangan azab yang bakal terjadi. Untuk orang-orang kafir, yang tidak seorangpun dapat menolaknya, (Yang datang) dari Allah, Yang mempunyai tempat-tempat naik. Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Rabb dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun". [Al-Ma'arij : 1-4].

Yakni, azab ini akan menimpa orang-orang kafir dalam sehari yang kadarnya limu puluh ribu tahun. Dalam hadits Shahih Muslim disebutkan hadits dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Tiada seorangpun dari pemilik emas atau pemilik perak yang tidak menunaikan haknya, melainkan pada hari kiamat akan dibentangkan untuknya papan dari logam dan dipanaskan di atasnya dalam Naar Jahannam, lalu dipangganglah lambungnya, dahinya dan punggungnya. Ketika telah dingin, dikembalikan lagi dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun sehingga tertunaikanlah segala yang berkaitan dengan hamba". Hari yang panjang ini adalah hari yang menyusahkan bagi orang-orang kafir. Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan adalah (hari itu), hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang yang kafir". [Al-Furqan : 26].

"Artinya : Maka waktu itu adalah waktu (datangnya) hari yang sulit, bagi orang-orang kafi lagi tidak mudah". [Al-Mudatsir : 10].

Namun dapat dipahami dari dua ayat ini bahwa bagi orang-orang mukmin adalah mudah. Hari yang amat panjang ini dan penuh dengan hal-hal yang menakutkan dan perkara-perkara yang luar biasa djadikan mudah oleh Allah Ta'ala bagi orang mukmin dan menyusahkan bagi orang kafir. Kita memohon kepada Allah Ta'ala kiranya berkenan menjadikan kita dan saudara-saudara kita termasuk golongan yang diberi kemudahan oleh Allah pada hari kiamat.

Terlalu berlebihan dalam memikirkan dan menyelami masalah-masalah ghaib, seperti ini termasuk perbuatan tanatthu' (berelebihan/melampui batas) yang pernah disinyalir oleh Nabi melalui sabdanya ;" Celakalah orang-orang yang berlebihan, celakalah orang-orang yang berlebihan, celakalah orang-orang yang berlebihan".

Tugas kita sebagai manusia dalam masalah-masalah semacam ini adalah pasrah saja dan mengambil zhahirnya makna tanpa perlu menyelami atau berusaha mengqiyaskan dengan hal-hal yang terdapat di dunia ; karena hal-hal yang ada di akhirat itu tidak seperti yang ada di dunia. Meskipun terdapat keserupaan secara makna, akan tetapi antara keduanya terdapat perbedaan yang besar. Sebagai contoh, Allah Ta'ala menyebutkan bahwa di dalam surga itu terdapat kurma, delima, buah-buahan, daging burung, madu, air, susu, khamr, dan sejenisnya namun Allah Ta'ala berfirman.

"Artinya : Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan". [As-Sajadah : 17].

Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa Allah berkata :
"Artinya : Aku sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang shalih sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata, belum pernah di dengar oleh telinga, dan belum pernah terdetik dalam hati maunusia".

Nama-nama ini yang memiliki substansi di dunia ini tidak berarti bahwa hal itu sama seperti yang disebutkan oleh Allah mengenai hal-hal yang ada di akhirat, meskipun secara asalnya maknanya ada kesamaan.

Setiap hal-hal yang ghaib yang memiliki kesamaan asal maknanya dengan hal-hal yang bisa kita lihat di alam dunia ini tidak memiliki kesamaan dalam substansi. Karena kita dan siapa saja mesti memperhatikan kaedah ini dan hendaklah dalam menghadapi masalah-masalah yang ghaib seperti ini dibiarkan menurut makna zhahirnya saja tanpa perlu berusaha mencari-cari arti lain dibalik itu.

Oleh karena itulah ketika Imam Malik Rahimahullah ditanya mengenai firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Yang Maha Rahman beristiwa di atas 'Arsy".

"Bagaimana Ia beristiwa ?", beliau menggeleng-gelengkan kepala sampai keringatnya bercucuran, karena pertanyaan tersebut terasa amat berat baginya. Kemudian beliau berkata yang kemudian jawaban beliau ini menjadi masyhur dan menjadi neraca untuk setiap apa yang disifatkan oleh Allah bagi diri-Nya. 
Kata beliau :"Istiwa' itu tidak majhul, kaifiatnya tidak ma'qul (tidak masuk akal atau tidak bisa dimengerti), iman dengannya wajib, dan mempertanyakannya adalah bid'ah".

Mempertanyakan secara mendalam mengenai masalah-masalah semacam ini merupakan bid'ah, karena para sahabat Radhiyallahu 'Anhum yang merupakan generasi yang paling tamak terhadap ilmu dan kebaikan, apalagi kalau dibandingkan dengan kita, tidak pernah bertanya kepada Nabi dengan sejenis pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Cukuplah kiranya mereka itu mejadi teladan.

Apa yang kami katakan disini yang ada kaitannya dengan masalah hari akhir, tak berbeda permasalahannya dengan segala yang terkait dengan sifat-sifat Allah 'Azza wa Jalla yang Dia sendiri sifatkan untuk diri-Nya. Di antaranya : Dia memiliki ilmu, kekuasaan, pendengaran, penglihatan, perkataan dan sebagainya. Maka substansi dari itu semua jika dinisbatkan kepada Allah 'Azza wa Jalla, tentu tidak ada sesuatupun yang menyerupai atau menyamainya, yang jika hal itu dinisbatkan kepada manusia apa yang menyerupainya. Setiap sifat mengikuti maushufnya (yang disifati). karena Allah Ta'ala tidak ada yang menyerupainya dalam hal sifat-sifat-Nya.

Pendek kata, bahwa hari akhir adalah satu hari. Ia merupakan hari yang amat menyusahkan bagi orang-orang kafir, dan bagi orang-orang mukmin ringan dan mudah. Segala pahala dan siksa yang ada di hari akhir itu termasuk perkara yang tidak bisa diketahui hakekatnya di kehidupan dunia ini, meskipun asal maknanya dapat kita ketahui dalam kehidupan dunia ini.

[Disalin dari buku Fatawa Anil Iman wa Arkanihi, edisi Indonesia Soal Jawab Masalah Iman dan Tauhid terbitan At-Tibyan' hal 39-42]

<< Kembali>>

Bagaimana Amal Perbuatan Itu Ditimbang (tanya jawab)

 Pertanyaan.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : “Bagaimana amal perbuatan itu ditimbang sedangkan ia adalah sekedar sifat bagi yang melakukan amalan tersebut ?

Jawaban.

Kaedah dalam menghadapi masalah semacam ini adalah - - sebagaimana telah kita kemukakan juga di atas- - kita pasrah dan menerima apa adanya saja. Kita tidak perlu menanyakan bagaimana dan mengapa. Namun ada juga ada ulama –Rahimahullah- yang berusaha memberikan jawaban atas pertanyaan diatas.

Mereka mengatakan bahwa amal perbuatan tersebut itu dirubah menjadi suatu bentuk sehingga ia memiliki jism lalu ditaruh dalam timbangan sehingga dapat diketahui berat atau ringannya amal tersebut.

Mereka mengambil contoh dari hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Pada hari kiamat kematian itu dijadikan dalam bentuk kibas (domba), kemudian memanggil penghuni jannah, “Wahai penghuni jannah!” Lalu merekapun muncul dan menjulurkan lehernya untuk melihat. Kemudian ia memanggil. ‘Wahai penghuni naar !” Lalu merekapun muncul dan menjulurkan lehernya untuk melihat. “Apa yang terjadi ?” Lalu kematian itu didatangkan dalam bentuk domba, lalu ditanyakan, “Apakah kalian tahu ini ?” Mereka menjawab “Ya”. Kematian itu akhirnya disembelih antara jannah dan naar, lalu dikatakan, “Wahai penghuni jannahm kekallah dan tiada kematian. Dan wahai penghuni naar, kekallah dan tiada kematian!”.

Kita semua tahu bahwa kematian merupakan sifat, akan tetapi Allah menjadikannya sebagai suatu bentuk yang berdiri sendiri. Demikian jugalah amal perbuatan itu menjadi suatu bentuk lalu ditimbang. Wallahu ‘alam.


[Disalin dari buku Fatawa ‘Anil Iman wa Arkanihi edisi Indonesia Soal Jawab Masalah Iman Dan Tauhid, At-Tibyan hal 45-46]

<< Kembali>>

Jannah dan Naar ? (Tanya Jawab)

Pertanyaan :

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Apakah Jannah dan Naar sudah ada ?

Jawaban :

Ya, memang Jannah maupun Naar sekarang ini sudah ada. Dalilnya bisa kita dapatkan dalam Kitab dan Sunnah.

Dalam Al-Kitab, Allah berfirman mengenai Naar.
Artinya : "Dan takutlah akan naar yang dipersiapkan bagi orang-orang kafir" [Ali-Imran : 131]

Dan mengenai Jannah, Allah Ta'ala berfirman.
Artinya : "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada
Jannah yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa
" [Ali-Imran : 133]

Dalam As-Sunnah, telah disebutkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim serta lainnya mengenai kisah gerhana matahari bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bangkit untuk shalat, lalu diperlihatkan Jannah dan Naar kepada beliau.

Beliau menyaksikan Jannah sehingga ingin meraih satu tanda darinya, kemudian ternyata beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukannya. Selanjutnya beliau melihat Naar, dan beliau melihat bahwa di dalam Naar tersebut terdapat 'Amru bin Luhay Al-Khaza'i' menjulurkan ususnya keluar dari perutnya dan ia menjulurkannya ke dalam api Naar. Karena dialah orang yang mula-mula memasukkan kemusyrikan ke dalam tubuh bangsa Arab. Dengan demikian dia memperoleh bagian dari adzab yang menimpa orang-orang yang datang setelahnya (yang mengikuti tindak kemusyrikannya).

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam juga melihat seorang wanita sedang di adzab gara-gara seekor kucing yang diikatnya hingga mati ; tidak diberi makan dan tidak pula dilepaskan untuk mencari makan sendiri. Ini semua menunjukkan bahwa Jannah maupun Naar sekarang ini sudah ada.

[Disalin dari kitab Fatawa Anil Iman wa Arkaniha, yang di susun oleh Abu Muhammad Asyraf bin Abdul Maqshud, edisi Indonesia Soal-Jawab Masalah Iman dan Tauhid, hal 50-52 Pustaka At-Tibyan]

<< Kembali>>

Dua Kalimat Syahadat (Tanya Jawab)

 Tanya :

Apakah maksud dua kalimat syahadat ?

Jawab :

Dua kalimat syahadat "kesaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan kesaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah" adalah kunci masuk Islam, dan tidak mungkin seseorang masuk kedalam Agama Islam kecuali dengan keduanya, oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan Mu'adz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman agar memulai da'wahnya dengan mengajak manusia untuk mengucapkan dua kalimat syahadat ( yaitu kesaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah ). 
Adapun kalimat yang pertama " kesaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah " maksudnya adalah seseorang mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah 'Azza wa Jalla, karena kata ilaah berarti yang disembah. Dan maksudnya adalah tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Ta'ala, kalimat ini mengandung "nafi" yang berarti meniadakan dan "itsbat" yang berarti menetapkan, adapun nafi yaitu kata-kata " laa ilaaha" yang berarti tiada tuhan yang berhak disembah, adapun Itsbat yaitu pada kata-kata " illa Allah" yang berarti kecuali Allah. 
Dan kesaksian tersebut merupakan pengakuan dengan lisan setelah beriman dengan kata-kata yang diucapkan itu dengan hati, kalimat ini mengandung memurnikan ibadah hanya untuk Allah semata dan meniadakan kebolehan beribadah kepada selain Allah. Adapun kalimat yang kedua " kesaksian bahwa Muhammad adalah utusan Allah" maksudnya adalah pengakuan dengan lisan dan menyakini dengan hati bahwa Muhammad bin Abdullah adalah utusan Allah kepada seluruh makhluk-Nya baik jin atau manusia, 
sebagaimana Allah berfirman :{ Katakanlah (hai Muhammad) wahai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua, (Allah) Yang miliknya kerajaan langit dan bumi tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia Yang Menghidupkan dan Mematikan, Maka berimanlah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-Nya nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-Nya dan ikutilah dia agar kamu mendapat petunjuk} al-'araaf :58
Kesaksian ini menuntut orang yang mengucapkannya untuk membenarkan apa yang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kabarkan, dan mentaati perintah-perintahnya dan menjauhi segala larangannya dan tidak beribadah kepada Allah kecuali sesuai dengan syariat yang dibawanya, dan syahadat ini juga menuntut agar tidak berkeyakinan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mempunyai hak dalam ketuhanan dan untuk mengatur alam semesta dan mempunyai hak untuk disembah, akan tetapi dia adalah seorang hamba yang tidak boleh disembah, seorang rasul yang tidak pernah dusta dan tidak boleh didustakan, dan tidak dapat mendatangkan kebaikan atau menangkal bahaya dari dirinya atau dari orang lain kecuali dengan kehendak Allah Ta'ala sebagaimana Allah berfirman:
{ Katakanlah : aku tidak mengatakan kepada kalian , bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak pula aku mengetahui yang ghaib dan tidak pula aku mengatakan kepadamu bahwa aku seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.} al-An'aam : 50
Dia adalah seorang hamba yang diperintahkan yang mengikuti apa yang diperintahkan. 
Dan Allah berfirman : { katakanlah : sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemaudharatan-pun kepadamu dan tidak pula sesuatu keemanfa'atan. Katakanlah : sesungguhnya aku sekli-kali tiada seorangpun yang dapat melindungiku dari azab Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya.} al-Jinn : 21-22. Wallahu a'lam.

Fatwa, 28 dzulhijjah ,Majmu' Fatawa, Syaikh 'Utsaimin, Jilid 12, hal, 415

<< Kembali>>

Makna Ikhlas (Tanya Jawab)

 Tanya :

Apakah makna ikhlas itu ?

Jawab :

Ikhlas karena Allah artinya apabila seseorang memaksudkan ibadahnya untuk bertaqarrub ( mendekatkan diri ) kepada Allah dan bertawassul ( menjadikan ibadahnya itu untuk mencapai ) kemuliaan-Nya. Apabila seseorang memaksudkan ibadahnya untuk sesuatu yang lain, maka disini ada uraiannya, yang dapat dirinci menurut tiga macam golongan :

1.Seseorang bermaksud untuk taqarrub kepada selain Allah dalam ibadah ini dan untuk mendapatkan sanjungan dari orang lain. Tentu saja hal ini menggugurkan pahala amal dan ini termasuk syirik.

Dalam hadits qudsi Allah berfirman :" Aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa melakkukan suatu amal yang dia menyekutukan selain Aku di dalamnya bersamaKu, maka Aku meninggalkannya dan dia tetap dalam sekutunya".

2. Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti kursi kepemimpinan, kedudukan dan harta, tanpa memaksudkannya untuk taqarrub kepada Allah, maka amal semacam ini gugur dan tidak dapat mendekatkanya kepada Allah sebagai mana Allah berfirman :

"Barang siapa yang menghendaki kehiduupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan" ( Hud: 15-16 ).

Perbedaan antara golongan pertama dan kedua, kalau golongan pertama bermaksud agar mendapat sanjungan dari ibadahnya kepada Allah, sedang golongan kedua tidak bermaksud agar dia disanjung sebagai ahli ibadah kepada Allah, dan dia tidak ada kepentingan dengan sanjungan manusia karena perbuatannya

3. Seseorang memaksudkan ibadahnya untuk taqarrub kepada Allah dan sekaligus untuk tujuan duniawi yang bisa diperolehnya. Seperti dia bermaksud membersihkan badan di samping berniat beribadah kepada Allah tatkala melakukan thaharah , mendirikan shalat sambil melatih badan dan pergerakkannya, puasa sambil menyusutkan berat badan dan menghilangkan kelebihan lemak, menunaikan ibadah haji sambil melihat masya'ir dan para jama'ah, semua ini dapat mengurangi balasan keikhlasan.

Andaikata yang lebih banyak adalah niat ibadah, maka dia kehilangan balasan kesempurnaan amal.Tetapi hal itu tidak menyeretnya kepada dosa, yang didasarkan pada firman Allah :

"Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia(rizki hasil perniagaan ) dari Rabb-Mu" ( al-Baqarah:198).

Apabila yang lebih banyak adalah niat untuk selain ibadah, maka dia tidak memperoleh balasan di akhirat. Tetapi balasannya hanya dia peroleh di dunia saja. Bahkan dikhawatirkan hal itu akan menyeretnya kepada dosa. Sebab dia menjadikan ibadah yang mestinya merupakan tujuan paling tinggi, sebagai sarana untuk mendapatkan keduniaan yang rendah nilainya, akhirnya ia termasuk orang-orang yang Allah firmankan :

{ dan diantara mereka ada orang yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika mereka diberi sebagian dari padanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah }.Terjemah QS: At-Taubah:58.

Dalam sunan Abu Daud, dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu :

sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata: Wahai Rasulullah, seseorang ada yang ingin berjihad, dan dia ingin mendapatkan imbalah dari imbalan dunia? Maka Beliau berkata : "Tidak ada pahala baginya" orang itu mengulang hingga tiga kali. Dan beliau berkata," tidak ada pahala baginya". Dan dalam hadits Bukhari dan Muslim,Rasulullah bersabda :"Barangsiapa yang hijrahnya untuk dunia yang bisa diperolehnya atau untuk wanita yang bisa dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia berpindah kepadanya".

Apabila dua tujuan dalam takaran yang berimbang, niat ibadah tidak lebih banyak daripada niat selain ibadah, maka penilaian yang lebih dekat dengan kebenaran ialah, dia tidak mendapat pahala apa-apa. Perbedaan antara golongan ini dengan golongan sebelumnya, bahwa tujuan selain ibadah pada golongan sebelumnya merupakan itu sasarannya.Kehendaknya merupakankehendak yang berasal dari amalnya, seakan-akan apa yang dituntut dari pekerjaannya hanyalah urusan dunia belaka.

Apabila ada yang bertanya : apakah timbangan untuk mengetahui tujuan orang yang termasuk dalam golongan ini, lebih banyak untuk ibadah atau pun bukan untuk ibadah ? Dapat dijawab : timbangannya ialah apabila dia tidak menuruh perhatian kecuali kepada ibadah, berhasil maupun tidak , maka hal ini telah menunjukkan niatnya lebih besar tertuju untuk ibadah. Dan kebalikannnya merupakan indikasi dari kebalikannya pula.

Bagaimanapun juga, niat adalah perkataan hati, yang urusannya amat besar dan penting. Seseorang bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa melorot ke tingkatan orang-orang yang paling bawah karena perkataan hati itu. Sebagian orang salaf berkata : diriku tidak pernah berperang melawan sesuatu seperti perangnya menghadapi keikhlasan ." kita memohon keikhlasan dalam niat dan kebaikan dalam amal kepada Allah bagi kami dan juga bagi kalian semua.

Fatwa syaikh Muhammad Shalih 'Utsaimin.juz: 1 

<< Kembali>>