بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Sabtu, 27 Januari 2024

Tadabbur Al-Quran Hal.356

Tadabbur Al-Quran Hal. 356
----------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

- Al Qur'an Indonesia Tajwid.

- An-Nur ayat 48 :

وَاِذَا دُعُوْٓا اِلَى اللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ اِذَا فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ مُّعْرِضُوْنَ

Dan apabila mereka diajak kepada Allah [1045] dan Rasul-Nya, agar (Rasul) memutuskan perkara di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak (untuk datang).

- [1045] Maksudnya ialah, dipanggil untuk bertahkim kepada Kitabullah.

- Asbabun Nuzul An-Nur ayat 48 :

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari mursal al-Hasan bahwa dahulu, kalau seseorang punya permusuhan atau persengketaan dengan orang lain, lalu ia diajak menghadap Nabi saw., dan ia berada di pihak yang benar, maka ia akan patuh dan ia tahu bahwa Nabi saw. akan memberikan haknya kepadanya. Tapi kalau ia mau berbuat zalim lalu ia diajak untuk menghadap Nabi saw., ia akan berpaling seraya mengatakan, "Pergilah menemui si Fulan!" Maka Allah menurunkan ayat ini.

- Tafsir Al Muyassar An-Nur ayat 48 :

Dan apabila mereka diajak kepada Kitabullah dan Rasul-Nya agar memberi hukum terhadap pertengkaran mereka, maka sekelompok orang dari mereka menolak dan tidak menerima hukum Allah dan Rasul-Nya, padahal hukum tersebut pasti benarnya dan tidak diragukan lagi.

- Riyāduş Şālihin :

Dari Ibnu Umar Ra., Rasulullah Saw. bersabda, "Setiap orang wajib mendengar dan taat, baik terhadap sesuatu yang dia suka atau benci, kecuali jika dia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban baginya untuk mendengar dan taat." (HR Muslim). Hadis di atas memberikan faedah bahwa setiap muslim berkewajiban untuk berpegang teguh atas apa yang diperintahkan atau yang dilarang oleh hakim (pemerintah muslim), baik sesuai dengan keinginan atau tidak, kecuali jika ia memerintahkan pada kemaksiatan, maka wajib untuk menolaknya karena tidak ada ketaatan pada makhluk yang bermaksiat kepada Khālik. (Dr. Muştafā Said Al-Khin, Nuzhatul Muttaqina Syarhu Riyādis Şalihina, Juz 1, 1407 H/1987 M: 549).

- Hadiš Nabawi :

Dari Anas bin Malik Ra., ia berkata, Rasulullah Savw. bersabda, "Dengarlah dan taatilah sekalipun yang memimpin kalian adalah seorang budak habsyi, seolah-olah rambut kepalanya gimbal." (HR Bukhari, Sahihu'T Bukhāri, Juz 4, No. Hadis 7142, 1422 H:329).

- Hadis Qudsi :

Dari Abu Hurairah Ra., dia berkata, "Saya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya manusia yang pertama kali dihisab pada hari kiamat ialah seseorang yang mati syahid, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, lantas Dia bertanya, Apa yang telah kamu lakukan di dunia wahai hamba-Ku? Dia menjawab, 'Saya berjuang dan berperang demi Engkau, ya Allah, sehingga saya mati syahid. Allah Swt. berfirman, Dusta kamu, sebenarnya kamu berperang bukan karena untuk-Ku, melainkan agar kamu disebut sebagai orang yang berani. Kini kamu telah menyandang gelar tersebut. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka. Dan didatangkan pula seseorang yang belajar Al-Qur'an dan mengajarkannya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas, Allah Swt. bertanya, Apa yang telah kamu perbuat?' Dia menjawab, Saya telah belajar ilmu dan mengajarkannya, saya juga membaca Al-Quran demi Engkau. Allah Swt. berfirman, Kamu dusta, akan tetapi kamu belajar ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur'an agar dikatakan seorang yang mahir dalam membaca, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan ilemparkan ke dalam neraka. Dan seorang laki-laki yang diberi keluasan rezeki oleh Allah Swt. kemudian menginfakkan semua hartanya, lalu diperlihatkan kepadanya kenikmatan sehingga ia mengetahuinya dengan jelas. Allah Swt. bertanya, Apa yang telah kamu perbuat dengannya? Dia menjawab, Saya tidak meninggalkannya sedikit pun melainkan saya infakkan harta benda tersebut di jalan yang Engkau ridai." Allah Swt. berfirman, Dusta kamu, akan tetapi kamu melakukan hal itu supaya kamu dikatakan seorang yang dermawan, dan kini kamu telah dikatakan seperti itu. Kemudian diperintahkan kepadanya supaya dia dicampakkan dan dilemparkan ke dalam neraka." (HR Muslim). (Syaikh Mustafa Al- 'Adawy, Sahihu'1 Ahädisi Qudsiyyati, t.t.: 18).

- Penjelasan Surah An-Nur Ayat 44-53 :

Ayat 44 dan 45 masih menjelaskan semua ciptaan Allah diciptakan dengan sistem yang  teratur dan indah sekali seperti, pergantian  malam dengan siang, agar manusia mudah memenej aktivitas kehidupan. Allah menciptakan semua makhluk hidup itu dari air. Di antaranya ada yang berjalan dengan perutnya (ular), dua kaki dan dengan empat kaki. Semua itu diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi orang  yang mengamatinya. Allah menciptakan apa saja yang dikehendaki-Nya dan berkuasa atas segala sesuatu. 

Ayat 46-53 menjelaskan, ditengah kekuasaan dan kebesaran Allah itu masih saja banyak manusia membangkang kepada sistem hidup yang diturunkan-Nya melalui ayat-ayat Al-Qur’an. Padahal sistem tersebut untuk kebaikan mereka.  

Kekuasaan Allah itu nyata dan ayat-ayat Al-Qur’an itu sangat jelas. Namun, kenapa banyak manusia mengakuinya hanya dengan lisan saja? Jika diajak untuk menerapkannya mereka berpaling. Jika keputusan hukum Al-Qur’an itu menguntungkan diri mereka, maka mereka datang dengan menundukkan diri. Sebenarnya dalam  hati mereka ada penyakit, atau ragu pada Al-Qur’an, atau khawatir Allah dan Rasul-Nya tidak adil. Mereka adalah orang-orang  yang zalim. 

Kaum mukmin yang sebenarnya ialah yang menaati Allah dan Rasul-Nya dengan lisan dan perbuatan dalam semua perkara. Dengan demikianlah surga dapat diraih. Tidak seperti kaum munafik yang suka bersumpah palsu, padahal dalam hati mereka berbeda dengan yang diucapkan. 

Selasa, 23 Januari 2024

Keutamaan Kalimat Tauhid

One Day One Hadits (291)
------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Keutamaan Kalimat Tauhid

عن عِتْبَانَ بْن مَالِكٍ الْأَنْصارِيَّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (إِنَّ اللَّهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَبْتَغِي بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ).

Dari 'Itban bin Malik Al-Anshori radhiAllohu anhu berkata, sesungguhnya Rasulullah shalallohu 'alahi wasallama bersabda:
“Sesungguhnya Alloh mengharamkan dari neraka, bagi siapa yang mengucapkan laa ilaha illallah (tiada sesembahan yang benar disembah selain Alloh) yang dengannya mengharap wajah Alloh” (HR. Bukhari no. 425 dan Muslim no. 33).

Pelajaran yang terdapat dalam hadist:

1. Keutamaan tauhid, bahwasanya tauhid akan menyelamatkan dari Api neraka dan menghapus dosa-dosa.

2. Tidak cukup keimanan itu dengan diucapkan tanpa keyakinan hati seperti kondisi orang-orang Munafik.

3. Tidak cukup keimanan itu keyakinan tanpa diucapkan sebagaimana kondisi orang-orang atheis.

4. Haramnya api neraka bagi ahli tauhid yang sempurna.

5. Amalan tidak akan bermanfaat kecuali Ikhlas karena Wajah Alloh dan benar di atas Sunnah Rasululloh shallallohu ‘alayhi wa sallam.

6. Orang yang mengatakan
لاَ إِ لـــــهَ إِ لاَّ الـلّــــــــــــهُ
sedangkan dia meminta kepada selain Alloh, tidak akan memberikan manfaat kepadanya sebagaimana kondisi para penyembah kubur pada hari ini.
Mereka mengatakan
لاَ إِ لـــــهَ إِ لاَّ الـلّــــــــــــهُ
sedangkan mereka meminta kepada orang yang mati dan mereka mendekatkan diri kepada orang yang mati.

Tema hadist yang berkaitan dengan Al-Quran:

1. Iman yang tauhid akan menyelamatkan dari siksa api neraka.

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
[Surat Al-Anaam : 82]

2. Syirik merusak amal.

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.
[Surat Az-Zumar : 65]

3. Tauhid bisa menghapus dosa.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allâh tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersukutukan) kepadaNya, dan Dia mengampuni dosa yang selain syirik itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang mempersekutukan Allâh, maka sungguh, dia telah mengadakan dosa yang sangat besar. [an-Nisâ’/4:48].

Senin, 22 Januari 2024

MENINGGAL DUNIA TETAPI MASIH MEMILIKI UTANG PUASA

Tematik (185)
---------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

MENINGGAL DUNIA TETAPI MASIH MEMILIKI UTANG PUASA, INI PENJELASAN LENGKAPNYA

Jika ada yang meninggal dunia lantas memiliki utang puasa, apakah boleh bayar utang puasanya?

Berikut penjelasan lengkapnya.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Barangsiapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang mempuasakan dirinya.” (HR. Bukhari, no. 1952 dan Muslim, no. 1147).

Begitu pula hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Ada seseorang pernah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas ia berkata,

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا فَقَالَ « لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى»

Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ia masih memiliki utang puasa sebulan. Apakah aku harus membayarkan qadha’ puasanya atas nama dirinya? Beliau lantas bersabda, Seandainya ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya? Iya, jawabnya. Beliau lalu bersabda, Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (HR. Bukhari, no. 1953 dan Muslim, no. 1148).”

Pembahasan di atas adalah bagi orang yang tidak puasa karena ada uzur (seperti sakit) lalu ia masih punya kemampuan dan memiliki waktu untuk mengqadha’ ketika uzurnya tersebut hilang sebelum meninggal dunia.

Sedangkan bagi yang tidak berpuasa karena uzur lantas tidak memiliki kemampuan untuk melunasi utang puasanya dan ia meninggal dunia sebelum hilangnya uzur atau ia meninggal dunia setelahnya namun tidak memiliki waktu untuk mengqadha’ puasanya, maka tidak ada qadha’ baginya, tidak ada fidyah dan tidak ada dosa untuknya. Demikian keterangan dari Syaikh Musthafa Al-Bugha yang penulis sarikan dari At-Tadzhib fii Adillah Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, hlm. 114.

Intinya, orang yang dilunasi utang puasanya adalah orang yang masih memiliki kesempatan untuk melunasi qadha’ puasanya namun terlanjur meninggal dunia. Sedangkan orang yang tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha’ lalu meninggal dunia, maka tidak ada perintah qadha’ bagi ahli waris, tidak ada kewajiban fidyah dan juga tidak ada dosa.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan pula,

وَلَوْ كَانَ عَلَيْهِ قَضَاءُ شَيْءٍ مِنْ رَمَضَانَ فَلَمْ يَصُمْ حَتَّي مَاتَ نُظِرَتْ فَاِنْ أَخِرُهُ لِعُذْرٍ اِتَّصَلَ بِالمَوْتِ لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ شَيْءٌ لِأَنَّهُ فَرْضٌ لَمْ يَتَمَكَّنْ مِنْ فِعْلِهِ إِلَى المَوْتِ فَسَقَطَ حُكْمُهُ كَالحَجِّ وَإِنْ زَالَ العُذْرُ وَتَمَكَّنَ فَلَمْ يَصُمْهُ حَتَّى مَاتَ أُطْعِمَ عَنْهُ لِكُلِّ مِسْكِيْنٍ مُدٌّ مِنْ طَعَامٍ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ

Barangsiapa masih memiliki utang puasa Ramadhan, ia belum sempat melunasinya lantas meninggal dunia, maka perlu dirinci. Jika ia menunda utang puasanya karena ada uzur lantas ia meninggal dunia sebelum memiliki kesempatan untuk melunasinya, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa. Karena ini adalah kewajiban yang tidak ada kesempatan untuk melakukannya hingga meninggal dunia, maka kewajiban itu gugur sebagaimana dalam haji. Sedangkan jika uzurnya hilang dan masih memiliki kesempatan untuk melunasi namun tidak juga dilunasi hingga meninggal dunia, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin, di mana satu hari tidak puasa memberi makan dengan satu mud.” (Al-Majmu’, 6:367).

Dalil bolehnya melunasi utang puasa orang yang telah meninggal dunia dengan menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) adalah beberapa riwayat berikut.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ إِذَا مَرِضَ الرَّجُلُ فِى رَمَضَانَ ثُمَّ مَاتَ وَلَمْ يَصُمْ أُطْعِمَ عَنْهُ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ نَذْرٌ قَضَى عَنْهُ وَلِيُّهُ.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, Jika seseorang sakit di bulan Ramadhan, lalu ia meninggal dunia dan belum lunasi utang puasanya, maka puasanya dilunasi dengan memberi makan kepada orang miskin dan ia tidak memiliki qadha’. Adapun jika ia memiliki utang nazar, maka hendaklah kerabatnya melunasinya.” (HR. Abu Daud, no. 2401. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif).

عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ  مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامُ شَهْرٍ فَلْيُطْعِمْ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مِسْكِينًا

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu anhuma, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, Barangsiapa yang meninggal dunia lantas ia masih memiliki utang puasa sebulan, maka hendaklah memberi makan (menunaikan fidyah) atas nama dirinya bagi setiap hari tidak puasa.” (HR. Tirmidzi, no. 718. Abu ‘Isa At-Tirmidzi berkata, Kami tidak mengetahui hadits Ibnu ‘Umar marfu’ sebagai perkataan Nabi kecuali dari jalur ini. Namun yang tepat hadits ini mauquf, hanya perkataan Ibnu ‘Umar. Al-Hafiz Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif).

Imam Syafi’i dalam pendapat lamanya (qadim) mewajibkan bagi yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, tidak diharuskan dilunasi dengan memberi makan (fidyah), namun boleh bagi kerabatnya melunasi utangnya dengan berpuasa atas nama dirinya. Bahkan pendapat inilah yang disunnahkan sebagaimana dinukil dari Imam Nawawi dari Syarh Shahih Muslim. Kata Imam Nawawi, pendapat qadim dari Imam Syafi’i itulah yang lebih tepat karena haditsnya yang begitu kuat. Sedangkan pendapat Imam Syafi’i yang jadid (terbaru), tidak bisa dijadikan hujjah (dukungan) karena hadits yang membicarakan memberi makan bagi orang yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa adalah hadits dhaif, wallahu a’lam. Demikian nukilan kami dari Kifayah Al-Akhyar.

Intinya, orang yang punya utang puasa dan terlanjur meninggal dunia sebelum utangnya dilunasi, maka bisa ditempuh dua cara: (1) membayar utang puasa dengan kerabatnya melakukan puasa, (2) menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin. Cara pertama ini lebih baik sebagaimana penguatan pendapat di atas.

Adapun bentuk memberikan fidyah, bisa dengan makanan siap saji dengan memberi satu bungkus makanan bagi satu hari tidak puasa, bisa pula dengan ketentuan satu mud yang disebutkan oleh Abu Syuja’ di atas.

Namun ukuran mud ini bukanlah ukuran standar dalam menunaikan fidyah. Syaikh Musthafa Al-Bugha berkata, Ukuran mud dalam fidyah di sini sebaiknya dirujuk pada ukuran zaman ini, yaitu ukuran pertengahan yang biasa di tengah-tengah kita menyantapnya, yaitu biasa yang dimakan seseorang dalam sehari berupa makanan, minuman, dan buah-buahan. Karena saat ini makanan kita bukanlah lagi gandum, kurma, anggur atau sejenisnya. Fakir miskin saat ini biasa menyantap khubz (roti) atau nasi, dan kadang mereka tidak menggunakan lauk daging atau ikan. Sehingga tidaklah tepat jika kita mesti menggunakan ukuran yang ditetapkan oleh ahli fikih (fuqaha) di masa silam. Karena apa yang mereka tetapkan adalah makanan yang umum di tengah-tengah mereka.” (At-Tadzhib, hlm. 115).

● APAKAH KALAU TIDAK PUASA LALU MENINGGAL DUNIA, SELALU DIBAYARKAN QADHA ?

1. Siapa saja yang mengakhirkan qadha’ Ramadhan begitu pula nadzar dan kafarat karena ada uzur, di mana sakit atau safarnya (yang mubah) terus berlanjut hingga meninggal dunia dan tidak ada waktu untuk mengqadha’, maka tidak ada kewajiban qadha’ sama sekali. Keluarganya pun tidak perlu menunaikan qadha’ maupun fidyah, karena ia bukan orang yang taqshir (lalai) dan ia tidak berdosa. Alasannya, ia tidak dikenakan kewajiban sampai akhirnya meninggal dunia, hukum wajib jadi gugur.

2. Jika ada yang punya uzur (lantas tidak puasa), lalu uzur tersebut hilang (seperti orang sakit kembali lagi sehat), kemudian utang puasa belum juga dibayarkan, menurut pendapat Syafiiyah yang qadim (lama) dan jadi pilihan Imam Nawawi, walinya (keluarganya) mempuasakan dirinya.

Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 28:76-77.

Semoga Allah beri ilmu yang bermanfaat.

Kamis, 18 Januari 2024

Tadabbur Al-Quran Hal. 355

Tadabbur Al-Quran Hal. 355
----------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

- Al Qur'an Indonesia Tajwid.

- An-Nur ayat 39 :

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍۢ بِقِيْعَةٍ يَّحْسَبُهُ الظَّمْاٰنُ مَاۤءًۗ حَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَهٗ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا وَّوَجَدَ اللّٰهَ عِنْدَهٗ فَوَفّٰىهُ حِسَابَهٗ ۗ وَاللّٰهُ سَرِيْعُ الْحِسَابِ ۙ

Dan orang-orang yang kafir, amal perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila (air) itu didatangi tidak ada apa pun. Dan didapatinya  ketetapan) Allah baginya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan (amal-amal) dengan sempurna dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya. [566]

- [566] Orang-orang kafir, karena amal-amal mereka tidak didasarkan atas iman, maka di akhirat tidak mendapat balasan dari Allah, walaupun di dunia mereka mengira akan mendapatkan balasan atas amal mereka itu.

- Tafsir Al Muyassar An-Nur ayat 39 :

Orang-orang yang kufur kepada Rabb mereka dan mendustakan para Rasul-Nya, semua amalan mereka seperti silaturrahim, membebaskan tawanan dan amalan lainnya yang mereka anggap akan bermanfaat bagi mereka nanti di akhirat laksana fatamorgana. Yakni apa yang terlihat seperti air yang ada di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang sedang dahaga, tetapi bila didatanginya dia tidak mendapatkan air tersebut.

Orang-orang kafir menyangkan semua amalannya bisa bermanfaat namun ternyata pada hari kiamat ia tidak mendapatkan pahalanya. la mendapati Allah Maha Mengawasi dirinya lalu Dia memberikan balasan amalnya dengan sempurna kepadanya. Dan Allah adalah Dzat yangMaha cepat perhitungan-Nya, maka hendaknya orang yang bodoh tidak mengira bahwa ancaman ini adalah lambat karena ia pasti akan mendatanginya.

- Tafsir Ibnu Kasir :

Allah Swt. menerangkan bahwa dengan Qudrah (Kekuasaan)-Nya Dia menggiring awan, padahal awan itu lemah. { ... Kemudian Dia mengumpulkan bagian-bagiannya... } Dia mengumpulkannya setelah terpisah-pisah. { ...Kemudian menjadikannya bertindih-tindih... }, Yaitu, saling bertumpuk dan tersusun satu di atas yang lainnya. { ...Maka kelihatanlah olehmu hujan... }, Yakni Al-Matar (hujan). { ...Keluar dari celah-celahnya.. } Yakni min Khilālihi (celah-celahnya). Firman-Nya, { ..Dia menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung... }  Maknanya adalah bahwasanya di langit itu terdapat gunung-gunung es yang Allah Swt. turunkan darinya butiran-butiran es. Firman Allah Swt., { ...Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran es) itu kepada siapa yang Dia kehendaki dan dihindarkan-Nya dari siapa yang Dia kehendaki.. }, Dimungkinkan bahwa yang dimaksud oleh lafaz "fa Yusibu bihi (maka ditimpakan dengannya)."
Yaitu, dengan apa yang telah diturunkan dari langit dari dua macam, berupa hujan dan es. Maka jadilah lafaz, .Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran es) itu kepada siapa yang Dia kehendaki.. adalah rahmat bagi mereka. 

{ ...Dan dihindarkanNya dari siapa yang Dia kehendaki... }, yaitu hujan tersebut diakhirkan dari mereka. Dimungkinkan pula yang dimaksud dengan lafaz fa Yuşibu bihi (maka ditimpakan dengannya)." yaitu dengan butiran-butiran es sebagai kemurkaan atas orang yang dikehendaki-Nya. Dengan butiran-butiran es itu buah-buahan menjadi berguguran dan benih-benih serta pohon-pohon mereka menjadi rusak. { ...Dan dihindarkan-Nya dari siapa yang Dia kehendaki..} , yaitu sebagai rahmat bagi mereka.

Firman-Nya, { ..Kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan. } Artinya, hampir saja cahaya kilatnya yang sangat berkilau itu menyambar (menghilangkan) penglihatan, ketika (penglihatan itu) mengikuti dan melihatnya. (lbnu Kaśir, Tafsirul Qur'āni'l Azimi, Jilid 10, 1421 H/2000 M: 257-258), 

- Riyāduş Şālihin : 

Dari Abu Hurairah Ra., dia berkata, Rasulullah Saw. Bersabda, "Sesungguhnya, membaca doa, Subhānallāhi (Mahasuci Allah), wal hamdulillähi (segala puji bagi Allah), Lā llaha illallāhu wa Allāhu Akbar (tiada Tuhan selain Allah, dan Allah Mahabesar) adalah lebih aku cintai daripada segala sesuatu yang terkena oleh sinar matahari." (HR Muslim).

Hadis di atas memberikan faedah:
(a) Dorongan zikir kepada Allah Swt. dengan menyucikan, memuji, mengagungkan, memahabesarkan, dan mengesakan-Nya.
(b) Sungguh zikir-zikir di atas lebih baik daripada dunia karena yang demikian merupakan amal akhirat yang semua isinya baik.
(c) Pahala Allah tidak akan pernah hilang,  ganjaran-Nya tidak akan terputus walaupun dunia telah hilang dan binasa.

Allah Swt. berfirman, Apa yang ada disisimu akan lenyap dan apa yang ada disisi Allah adalah kekal.
(Dr. Mustafā Sa'id Al-Khin, Nuzhatul Muttaqina Syarhu Riyādis Sālihina, Juz 2, 1407H/1987 M: 970).

- Hadis Nabawi : 

Abu Hurairah Ra. berkata, Rasulullah Saw. bersabda, "Seandainya aku memiliki emas sebesar bukit Uhud, aku tidak suka ia bersamaku lebih dari tiga hari, dan tidak ada yang tersisa bagiku kecuali yang aku siapkan untuk membayar hutang." Hadis ini juga diriwayatkan oleh Şalih dan Ugail dari Az-Zuhriy. (HR Al-Bukhāri, A-Jāmiu Sahih Bukhāri, Juz 2: 172, No. Hadis, 2389), 

- Hadis Qudsi :

Dari Abu Hurairah Ra., dia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, "Allah Swt. berfirman, Anak Adam telah menyakiti-Ku karena suka mencela masa. Padahal Akulah masa. Aku-lah yang menggilir siang dan malam." (HR A-Bukhāri, A-Jāmi'u Sahih Bukhāri, uz 3, No. Hadis 4826: 291).

- Penjelasan Surah An-Nur Ayat 37-43 :

Ayat 37 dan 38 menjelaskan orang-orang  mukmin yang mendapat cahaya Al-Qur’an dan hatinya mencintai rumah Allah (masjid) dengan melaksanakan berbagai ibadah di dalamnya, maka mereka menjadi  orang-orang yang memiliki kepribadian yang kuat. Perniagaan dan aktivitas dunia lainnya  tidak melalaikan mereka dari zikrullah, salat dan menunaikan zakat. Mereka takut pada peristiwa kiamat yang membuat mata manusia terbelalak. Allah akan limpahkan  karunia dan rezeki-Nya kepada mereka. 

Ayat 39 dan 40 menjelaskan orang-orang yang tidak mendapat cahaya Al-Qur’an, mereka hidup dalam fatamorgana dan penuh kegelapan, sehingga tidak bisa membedakan antara hak dan batil, antara baik dan buruk, antara hama dan Tuhan Pencipta. Mereka hidup dalam kegelapan yang berlapis-lapis. Siapa yang tidak diberi Allah cahaya, maka ia akan  hidup dalam kegelapan yang gelap gulita. 

Ayat 41-43 menjelaskan kekuasaan dan kebesaran Allah di alam semesta ini. Semua yang di langit, di bumi dan burung bertasbih kepada-Nya. Tapi, manusia tidak memahami bahasa mereka. Allahlah Pemilik langit dan bumi dan kepada-Nya tempat kembali. Mengapa manusia tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan proses hujan terjadi, gunung-gunung awan yang menurunkan butir-butir salju lalu Allah timpakan atau hindarkan dari orang yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilatnya nyaris menghilangkan penglihatan.

Selasa, 16 Januari 2024

TIDAK SENGAJA, LUPA, DIPAKSA, BERARTI TIDAK TERKENA DOSA

Tematik (184)
---------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

TIDAK SENGAJA, LUPA, DIPAKSA, BERARTI TIDAK TERKENA DOSA

(HADITS ARBAIN NOMOR 39)

Tidak sengaja, lupa, dipaksa, tidak terkena dosa, apa maksudnya.  
Yuk kita kaji dari hadits Arbain 39 kali ini.

HADITS ARBAIN KE-39

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ قَال: «إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِي عَنْ أُمَّتِي: الخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ» حَدِيْثٌ حَسَنٌ رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ وَالبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمَا.

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :  

“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa, dan dipaksa.”  
[Hadits hasan, HR. Ibnu Majah No. 2045, Al-Baihaqi VII/356, dan selainnya].
 
KETERANGAN HADITS

Tajaawaza : memaafkan
‘an ummati : ummatil ijabah, ummat yang menerima dakwah.
 
FAEDAH HADITS

1. Luasnya rahmat Allah 'Azza wa Jalla pada hamba-Nya.

2. Allah 'Azza wa Jalla memaafkan hamba ketika keliru, lupa, atau dipaksa.

3. Pemaafan dan kemudahan adalah kekhususan umat ini.

4. Syari'at datang untuk mengangkat kesulitan. Maka konsekuensinya, dosa diangkat dari orang yang tidak berniat yaitu saat keliru, lupa, atau dipaksa.

KAEDAH DARI HADITS

Segala yang haram yang dikerjakan hamba karena tidak tahu (jahil), lupa, atau dipaksa, maka tidak dikenakan dosa.
 
KETIKA LUPA

Lupa secara bahasa berarti meninggalkan. Seperti dalam ayat :

نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْۗ

“Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka.”  
[QS. At-Taubah : 67].

Maksud nisyan dalam ayat ini adalah meninggalkan.
Secara istilah, Ibnu Nujaim mengatakan tentang nisyan adalah :

عَدَمُ تَذَكَّرُ الشَّيْءِ وَقْتَ حَاجَتِهِ إِلَيْهِ

“Tidak mengingat sesuatu pada waktu ia membutuhkannya.”
 
PENGARUH LUPA

Ulama Syafi’iyah dan ulama Hambali dalam pendapat sahih menurut mereka, orang yang lupa berarti telah bebas dari mukallaf (pembebanan syariat) ketika ia lupa. Karena mengerjakan suatu perintah harus dengan didasari ilmu.
 
Adapun pengaruh hukum terhadap yang lupa :

PERTAMA :  
Hukum ukhrawi.
Sepakat para ulama bahwa orang yang lupa tidak dikenakan dosa sama sekali. Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla :

رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.”  
[QS. Al-Baqarah : 286]

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ketika turun firman Allah Ta’ala :

لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.  
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa) : “Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.”  
[QS. Al-Baqarah : 286]. 
 
Lalu Allah menjawab, aku telah mengabulkannya.”  
[HR. Muslim, No. 125].

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma secara marfu’, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah menghapuskan dari umatku dosa ketika mereka dalam keadaan keliru, lupa dan dipaksa.”  
[HR. Ibnu Majah No. 2045. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih].

Ibnu Taimiyah berkata tentang masalah ini :

مَنْ فَعَلَ مَحْظُورًا مُخْطِئًا أَوْ نَاسِيًا لَمْ يُؤَاخِذْهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَحِينَئِذٍ يَكُونُ بِمَنْزِلَةِ مَنْ لَمْ يَفْعَلْهُ فَلَا يَكُونُ عَلَيْهِ إثْمٌ وَمَنْ لَا إثْمَ عَلَيْهِ لَمْ يَكُنْ عَاصِيًا وَلَا مُرْتَكِبًا لِمَا نُهِيَ عَنْهُ وَحِينَئِذٍ فَيَكُونُ قَدْ فَعَلَ مَا أُمِرَ بِهِ وَلَمْ يَفْعَلْ مَا نُهِيَ عَنْهُ . وَمِثْلُ هَذَا لَا يُبْطِلُ عِبَادَتَهُ إنَّمَا يُبْطِلُ الْعِبَادَاتِ إذَا لَمْ يَفْعَلْ مَا أُمِرَ بِهِ أَوْ فَعَلَ مَا حُظِرَ عَلَيْهِ

“Siapa saja yang melakukan perkara yang dilarang dalam keadaan keliru atau lupa, Allah tidak akan menyiksanya karena hal itu. Kondisinya seperti tidak pernah berbuat kesalahan tersebut sehingga ia tidak dihukumi berdosa. 

Jika tidak berdosa, maka tidak disebut ahli maksiat dan tidak dikatakan terjerumus dalam dosa. Jadi ia masih dicatat melakukan yang diperintah dan tidak mengerjakan yang dilarang. Semisal dengan ini tidak membatalkan ibadahnya. Ibadah itu batal jika tidak melakukan yang Allah perintahkan atau melakukan yang dilarang.”  
[Majmu’ah Al-Fatawa, 25 : 226].
 
KEDUA :  
Hukum duniawi.
Jika itu berkaitan dengan meninggalkan perintah karena lupa, maka tidaklah gugur, bahkan harus dilakukan ketika ingat.

Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa selama bukan pengrusakan, maka tidak dikenakan apa-apa.
Jika itu berkaitan dengan melakukan larangan dalam keadaan lupa dan ada pengrusakan, maka tetap ada dhaman (ganti rugi).
 
KAEDAH MEMBEDAKAN LUPA DALAM PERINTAH DAN LARANGAN

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :  

“Perbedaan penting yang perlu diperhatikan bahwa siapa yang melakukan yang haram dalam keadaan lupa, maka ia seperti tidak melakukannya. 

Sedangkan yang meninggalkan perintah karena lupa, itu bukan alasan gugurnya perintah. Namun bagi yang mengerjakan larangan dalam keadaan lupa, maka itu uzur baginya sehingga tidak terkenai dosa.”  
[I’lam Al-Muwaqi’in, 2 : 51]

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata :

مَنْ فَعَلَ مَحْظُورًا نَاسِيًا لَمْ يَكُنْ قَدْ فَعَلَ مَنْهِيًّا عَنْهُ

“Barangsiapa melakukan suatu yang terlarang karena lupa, maka ia tidak dikatakan melakukan suatu yang terlarang.”  
[Majmu’ah Al-Fatawa, 20 : 573]
 
BEBERAPA BENTUK LUPA

PERTAMA :  
Lupa dengan meninggalkan perintah

(1) Lupa membaca bismillah pada awal wudhu

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ

“Tidak ada shalat bagi yang tidak ada wudhu. Tidak ada wudhu bagi yang tidak membaca bismillah di dalamnya.”  
[HR. Abu Daud, No. 101 dan Ibnu Majah, No. 399. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan].

Kalau dilihat dari hadits- hadits yang ada yang semisal dengan hadits di atas, dapat dikatakan bahwa haditsnya saling menguatkan satu dan lainnya.   

Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata :  

“Nampak bahwa dilihat dari berbagai macam jalur, hadits yang membicarakan anjuran bismillah saat wudhu saling menguatkan, yang menunjukkan adanya ajaran akan hal itu.”  
[Talkhish Al-Habir, 1 : 128]

Sebagian ulama mendhaifkan hadits di atas, namun dari berbagai jalur, hadits menjadi kuat. Sedangkan penafian (peniadaan) yang disebutkan dalam hadits adalah kesempurnaan. Jadi maksudnya adalah tidak sempurna wudhunya.

Karena ada hadits-hadits yang membicarakan tentang wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti hadits ‘Abdullah bin Zaid, ‘Utsman bin ‘Affan, dan juga Ibnu ‘Abbas, tidak menyebutkan bismilah di dalamnya. Sehingga penafian yang ada dimaknakan, tidak sempurna. Jadi tetap ada anjuran membaca bismillah di awal wudhu, namun tidak menunjukkan wajib.

Ulama Syafi’iyah dan madzhab Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca bismillah pada awal wudhu termasuk perkara sunnah. Jika lupa membacanya di awal wudhu, maka boleh dibaca kapan pun saat wudhu sebelum wudhu selesai. Jika meninggalkan membaca bismillah karena lupa, maka sah wudhunya.
 
(2) Lupa mengerjakan shalat wajib

Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang lupa shalat fardhu, wajib ia mengqadha’nya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِى

“Jika salah seorang di antara kalian tertidur dari shalat atau ia lupa dari shalat, maka hendaklah ia shalat ketiak ia ingat. Karena Allah Ta'ala berfirman (yang artinya) : 
Kerjakanlah shalat ketika ingat.”  
[QS. Thaha : 14]  
[HR. Muslim, No. 684].

Cara mengqadha’nya jika yang lupa lebih dari satu shalat, bisa dengan petunjuk dari Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di berikut ketika beliau mengatakan dalam Manhajus Salikin :

وَمَنْ فَاتَتْهُ صَلَاةٌ وَجَبَ عَلَيْهِ قَضَاؤُهَا فَوْرًا مُرَتِّبًا
فَإِنْ نَسِيَ أَوْ جَهِلَهُ أَوْ خَافَ فَوْتَ الصَّلاَةِ سَقَطَ التَّرْتِيْبُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الحَاضِرَةِ

“Siapa yang luput dari shalat, wajib baginya untuk mengqadha’nya segera secara berurutan.

Jika ia lupa, tidak tahu, atau khawatir luput dari shalat hadhirah  (yang saat ini ada), maka gugurlah tartib (berurutan) antara shalat yang luput tadi dan shalat yang hadhirah (yang saat ini ada).”
 
(3) Lupa salah satu bagian shalat.

Sebagaimana dikatakan oleh Al-Qadhi Abu Syuja’ dalam Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, ketentuan mengenai perkara yang tertinggal dalam shalat ada tiga yaitu : fardhu, sunnah ab’adh, dan sunnah hai’at.
Jika termasuk fardhu (rukun shalat), apabila tertinggal dalam shalat, maka tidak bisa digantikan dengan sujud sahwi. 

Akan tetapi jika seseorang teringat sementara jarak waktu masih memungkinkan untuk mengerjakannya, dia harus mengerjakan perkara tersebut dan di akhir melakukan sujud sahwi.

Jika termasuk sunnah ab’adh (seperti tasyahud awwal, duduk tasyahud awwal, shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tasyahud awal, shalawat kepada keluarga Nabi pada tasyahud awal dan akhir, pen.), lalu tertinggal dalam shalat, maka tidak perlu diulang apabila yang rukun (fardhu) sudah dikerjakan. Akan tetapi di akhir, harus melakukan sujud sahwi.
Jika termasuk dalam sunnah hai’at, maka perkara yang tertinggal tersebut tidak perlu diulang setelah tertinggal dan seseorang tidak perlu melakukan sujud sahwi.

Sebab melakukan sujud sahwi menurut ulama Syafi’iyah ada empat :

(1) Meninggalkan salah satu dari sunnah ab’adh seperti tasyahud awal.

(2) Ragu mengenai jumlah rakaat.

(3) Melakukan sesuatu yang terlarang dalam shalat karena lupa; jika dilakukan sengaja, akan membatalkan shalat seperti menambah rakaat jadi lima dalam shalat Zhuhur karena lupa.

(4) Memindahkan yang merupakan fi’il (perbuatan) shalat baik rukun shalat atau sunnah ab’adh atau memindahkan membaca surat bukan pada tempatnya seperti membaca Al-Fatihah ketika tasyahud, membaca surat pendek ketika I’tidal.  
[Lihat Al-Fiqh Al-Manhaji, 1 : 173-174].

CARA MELAKUKAN SUJUD SAHWI :

(1) Sujud sahwi dilakukan dengan dua kali sujud seperti sujud saat shalat. Yang ingin melakukannya berniat untuk sujud sahwi.

2) Sujud sahwi dilakukan di akhir shalat sebelum salam. Jika seseorang yang shalat mengucapkan salam sebelum sujud sahwi dengan sengaja atau lupa, dan jedanya sudah begitu lama, maka sujud sahwi jadi gugur. Jika jaraknya masih dekat, maka sujud sahwi tetap dilakukan dengan dua kali sujud dengan niatan sujud sahwi, lalu salam. Inilah penjelasan dalam madzhab Syafi’i sebagaimana disebutkan dalam Al-Fiqh Al-Manhaji, hlm. 174.

Dalam Mughni Al-Muhtaj –salah satu kitab fiqih Syafi’iyah –disebutkan :   

“Tata cara sujud sahwi sama seperti sujud ketika shalat dalam perbuatann wajib dan sunnahnya, seperti meletakkan dahi, thuma’ninah (bersikap tenang), menahan sujud, menundukkan kepala, melakukan duduk iftirosy ketika duduk antara dua sujud sahwi, duduk tawarruk ketika selesai dari melakukan sujud sahwi, dan dzikir yang dibaca pada kedua sujud tersebut adalah seperti dzikir sujud dalam shalat.”

(4) Lupa membaca bismillah ketika makan.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يَذْكُرَ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى فِى أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia menyebut nama Allah Ta’ala. Jika ia lupa untuk menyebut nama Allah Ta’ala di awal, hendaklah ia mengucapkan : ‘BISMILLAAH AWWALAHU WA AAKHIROHU (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).’”  
[HR. Abu Daud, No. 3767 dan Tirmidzi, No. 1858. Tirmidzi mengatakan hadits tersebut hasan sahih. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits tersebut sahih] 

Dalam lafazh lain disebutkan :

إِذَا أَكَلَ أَحَدكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ بِسْمِ اللَّه ، فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّله فَلْيَقُلْ : بِسْمِ اللَّه فِي أَوَّله وَآخِره

“Apabila salah seorang di antara kalian makan, maka hendaknya ia ucapkan “Bismillah”.  
Jika ia lupa untuk menyebutnya, hendaklah ia mengucapkan : BISMILLAAH FII AWWALIHI WA AAKHIRIHI (dengan nama Allah pada awal dan akhirnya).”  
[HR. Tirmidzi No. 1858, Abu Daud No. 3767 dan Ibnu Majah No. 3264. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih dan Syaikh Al Albani menyatakan hadits ini sahih].
 
KEDUA :  
Lupa dengan melakukan larangan.

(1) Makan dan minum dalam keadaan lupa saat puasa.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ, فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ, فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ, فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اَللَّهُ وَسَقَاهُ

“Barangsiapa yang lupa sedang ia dalam keadaan puasa lalu ia makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya karena kala itu Allah yang memberi ia makan dan minum.”  
[HR. Bukhari, No. 1933 dan Muslim, No. 1155].
 
(2) Berbicara dalam shalat dalam keadaan lupa.

Dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :  
“Aku ketika itu shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ada seseorang yang bersin dan ketika itu aku menjawab ‘yarhamukallah’ (semoga Allah merahmatimu). Lantas orang-orang memalingkan pandangan kepadaku. Aku berkata ketika itu :

وَاثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَىَّ

“Aduh, celakalah ibuku! Mengapa Anda semua memandangku seperti itu?” Mereka bahkan menepukkan tangan mereka pada paha mereka. Setelah itu barulah aku tahu bahwa mereka menyuruhku diam. Lalu aku diam. 

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, ayah dan ibuku sebagai tebusanmu (ungkapan sumpah Arab), aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau.  
Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul, dan tidak memakiku. Beliau shallallahu'alaihi wasallam bersabda saat itu :

إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَىْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

‘Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.’”  
[HR. Muslim, No. 537].

Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah bahwa siapa yang berbicara ketika shalat dalam keadaan lupa, shalatnya tidaklah batal asalkan kata-kata yang keluar sedikit dan nantinya ditutup kealpaan tersebut dengan sujud sahwi.  
Jika kata-kata yang keluar banyak, shalatnya batal.
 
(3) Baru mengetahui adanya najis setelah shalat.

Barangsiapa yang lupa membersihkan diri dari najis lalu ia shalat dalam keadaan lupa, maka shalatnya sah. Masalah najis berkaitan dengan larangan ketika shalat. Ketika dilakukan diterjang dalam keadaan lupa, maka shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.

Hal ini menjadi pendapat Syafi’i yang qadim.  
Dalil dari hal ini adalah hadits ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas sandal saat shalat. 

Hadits lengkapnya sebagaimana berikut ini.
Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, ia berkata :

بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا

“Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama shahabatnya, tiba-tiba dia melepaskan kedua sandalnya dan meletakkannya di sebelah kirinya. Ketika para shahabat melihatnya, mereka pun melepas sandalnya. 

Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, beliau berkata :  

‘Apa yang membuat kalian melepas sandal kalian?’ Mereka berkata, ‘Kami lihat engkau melepas sandalmu, maka kamipun melepas sandal kami.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :  
‘Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwa pada kedua sandalku terdapat kotoran. Dan dia berkata, ‘Jika kalian mendatangi masjid, hendaknya memperhatikan, jika pada sandalnya terdapat najis atau kotoran hendaknya dia bersihkan, lalu shalat dengan memakai keduanya.”  
[HR. Abu Daud, No. 650. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih]

KETIKA TIDAK SENGAJA

Yang dimaksud di sini adalah tidak punya maksud untuk melakukan sesuatu. Bukan yang dimaksud dengan khatha’ di sini adalah lawan dari benar atau berarti salah.

Sesuatu ketidaksengajaan tidaklah dikenakan dosa sebagaimana disebutkan dalam ayat :

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا

“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tidak sengaja.”  
[QS. Al-Baqarah : 286]. 

Dalam hadits disebutkan bahwa Allah Ta'ala telah memenuhi hal tersebut.

Dalam hadits disebutkan :

إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku ketika ia tidak sengaja, lupa atau dipaksa.”  
[HR. Ibnu Majah, No. 2043. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih karena memiliki penguat dari jalur lainnya]
 
Apakah kalau tidak sengaja dikenakan ganti rugi ?

Hal ini perlu dirinci

PERTAMA,  
jika terkait dengan hak sesama manusia.  
Ada dua (2) hal yang perlu diperhatikan :

(1) Jika memang perbuatan tersebut diizinkan, ia sengaja melakukan, namun tidak sengaja merusak, ketika itu tidak ada dhaman (ganti rugi).  
Contoh seperti yang dilakukan oleh seorang tabib atau dokter, atau orang yang menjadi wakil (diserahi tanggung jawab) lalu tidak sengaja merusak. Karena kaedahnya, sesuatu yang dibolehkan oleh syari’at mengakibatkan tidak ada dhaman (ganti rugi).

(2) Jika memang perbuatan tersebut tidak diizinkan, maka dikenakan dhaman (ganti rugi). 
Contoh orang yang tidak sengaja membunuh orang lain walaupun tidak dikenakan qishash (nyawa dibalas nyawa), namun tetap dikenakan dhaman (ganti rugi) yaitu dikenakan diyyat.

KE-DUA,  
jika terkait dengan hak Allah Ta'ala, maka tidak ada hukuman had.  
Namun apakah ada dhaman (ganti rugi)?  
 
Hal ini perlu dirinci.

Jika tidak ada itlaf (pengrusakan) seperti seseorang yang tidak sengaja menutup kepalanya saat ihram atau memakai baju saat ihram (padahal tidak boleh mengenakan pakaian yang membentuk lekuk tubuh seperti baju, pen.), maka tidak ada kafarah

Jika ada itlaf (pengrusakan) seperti memotong kuku saat ihram atau memotong rambut saat ihram atau berburu hewan saat ihram, maka ada beda pendapat jika dilakukan tidak sengaja untuk kasus kedua ini. Pendapat yang lebih kuat adalah tetap dikenakan kafarah.

Adapun yang dimaksud dengan kafarah atau fidyah : 

Fidyah karena melakukan larangan ihram yaitu mencukur rambut, memotong kuku, memakai harum-haruman, mencumbu istri dengan syahwat, memakai pakaian berjahit yang membentuk lekuk tubuh bagi laki-laki, memakai sarung tangan, menutup rambut kepala, dan memakai niqob bagi wanita.
Bentuk fidyah dari setiap pelanggaran ini adalah memilih salah satu dari tiga hal :

(1) Menyembelih satu ekor kambing

(2) Memberi makan kepada enam orang miskin.

(3) Berpuasa selama tiga hari.

KETIKA DIPAKSA

Bagaimana jika ada yang dipaksa dengan ancaman dibunuh untuk mengucapkan kalimat kufur, lantas ia mengucapkannya?  
Atau bagaimana jika ia dipaksa untuk murtad?

Tentang masalah tersebut, mari kita perhatikan dalil- dalil berikut ini.

مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.”  
[QS. An-Nahl : 106].

Dalam hadits disebutkan bahwa orang-orang musyrik pernah menyiksa ‘Ammar bin Yasir.  
Ia tidaklah dilepas sampai mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyanjung dengan kebaikan pada sesembahan orang musyrik. 

Lalu setelah itu ia pun dilepas. Ketika ‘Ammar mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia pun ditanya oleh Rasul, “Apa yang terjadi padamu?” “Sial, wahai Rasulullah. Aku tidaklah dilepas sampai aku mencelamu dan menyanjung-nyanjung sesembahan mereka.”

قَالَ : « كَيْفَ تَجِدُ قَلْبَكَ ؟ » قَالَ : مُطْمَئِنٌّ بِالإِيْمَانِ قَالَ : « إِنْ عَادُوا فَعُدْ »

Rasul balik bertanya, “Bagaimana hatimu saat itu?” Ia menjawab, “Hatiku tetap dalam keadaan tenang dengan iman.”  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengatakan, “Kalau mereka memaksa (menyiksa) lagi, silakan engkau mengulanginya lagi seperti tadi.”  
[HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, 2 : 389; Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra, 8 : 208. Sanad hadits ini dha’if]. 

Namun ada banyak jalur periwayatan kisah ini. Intinya kisah ini masih memiliki asal.  
Ibnu Hajar dalam Fath Al-Bari, 12 : 312 menyatakan bahwa hadits ini termasuk hadits mursal yang saling menguatkan satu dan lainnya.

Ibnu Hazm juga menyatakan ada klaim ijmak dalam hal ini.  
Beliau berkata dalam Maratib Al-Ijma’, hlm. 61,

اتَّفَقُوْا عَلَى أَنَّ الْمُكْرَهَ عَلَى الْكُفْرِ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالاِيْمَانِ أَنَّهُ لَا يَلْزَمْهُ شَيْءٌ مِنَ الْكُفْرِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى

“Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa berbuat kufur sedangkan hatinya dalam keadaan tenang di atas iman, ia tidak dihukumi kufur di sisi Allah Ta’ala.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Istiqamah (2 : 210) berkata :

وَلِهَذَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَنَا نِزَاعٌ فِي أَنَّ الأَقْوَالَ لاَ يَثْبُتُ حُكْمُهَا فِي حَقِّ المُكْرَهِ بِغَيْرِ حَقٍّ

“Oleh karena itu, kami tidak ada silang pendapat mengenai hukum bagi orang yang dipaksa tanpa jalan yang benar bahwa tidak dikenakan hukum padanya.”
Juga dalam Ensiklopedia Fikih, Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22 : 182) disebutkan :

وَاتَّفَقَ الفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ مَنْ أُكْرِهَ عَلَى الكُفْرِ فَأَتَى بِكَلِمَةِ الكُفْرِ : لَمْ يَصِرْ كَافِراً

“Para fuqaha sepakat bahwa siapa yang dipaksa untuk melakukan suatu kekufuran lantas ia mengucapkan kalimat kufur, maka tidak divonis sebagai orang kafir.” 

Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah dalam kitab tafsirnya (14 : 223) mengatakan, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma menyatakan bahwa siapa saja yang kufur setelah sebelumnya ia beriman, maka baginya murka Allah dan baginya siksa yang pedih. 

Namun siapa yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kufur, namun hatinya tetap masih dalam keadaan iman, ia mengucapkannya hanya ingin menyelamatkan diri dari musuhnya, maka seperti itu tidaklah mengapa. Karena Allah Ta’ala menghukumi hamba hanya karena kekufuran yang ia ridhai dalam hatinya.

DIPAKSA ITU ADA DUA MACAM

Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (22 : 182) disebutkan bahwa pemaksaan itu ada dua (2) macam.

(1) Pemaksaan pertama disebut ikrahan tamman, yaitu pemaksaan sempurna, artinya benar- benar menghadapi bahaya besar.

Seperti dipaksa dengan dibunuh, dipotong, dipukul yang dapat membahayakan jiwa atau anggota badan, baik dengan sedikit atau banyak pukulan.

(2) Pemaksaan kedua disebut ikrahan naqishan, yaitu pemaksaan yang tidak sempurna, artinya tidak benar-benar mengancam jiwa.  
Seperti dipenjara, dirantai, atau pukulan yang tidak sampai membahayakan jiwa atau anggota badan.

Para ulama menyatakan bahwa yang disebut pemaksaan yang boleh melakukan perbuatan kekufuran atau mengucapkan kata kufur adalah pemaksaan pertama, yaitu pemaksaan sempurna (ikrahan tamman). Namun syarat disebut ikrahan tamman adalah :

(1) Ancaman yang diberikan benar-benar berdampak bahaya pada jiwa atau anggota badan.

(2) Yang memaksa benar- benar mampu diwujudkan ancamannya.

(3) Yang dipaksa benar- benar tidak mampu untuk menolak ancaman pada dirinya, baik dengan melarikan diri atau meminta pertolongan pada yang lain.

(4) Yang dipaksa punya sangkaan kuat bahwa ancaman tersebut benar- benar bisa diwujudkan oleh yang memaksa.

MEMILIH MATI

Bolehkah bagi yang diancam memilih untuk bersabar dan terus terkena bahaya dan terus disakiti, andai juga ia terbunuh ketika itu?

Iya, boleh memilih seperti itu. Bilal bin Rabbah radhiyallahu ‘anhu dan lainnya pernah memilih seperti itu.

Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan, seseorang boleh memilih untuk mati ketika diancam untuk mengatakan kalimat kufur. Seperti yang dipilih oleh Bilal. Ia enggan mengucapkan kalimat kufur.

Sampai-sampai orang kafir meletakkan batu yang besar di dadanya dalam keadaan panas. Mereka terus memaksa Bilal untuk berbuat syirik pada Allah, namun Bilal enggan menuruti keinginan mereka.  
Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad (artinya : Esa, Esa).” Bilal mengatakan, “Demi Allah, seandainya aku tahu suatu kalimat yang akan membuat kalian lebih marah dari kalimat itu, tentu aku akan mengucapkannya.” Semoga Allah meridhai Bilal.”  
[Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4 : 715].

Barakallahu fiikum...

REFERENSI :

Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i. Syaikh Dr. Musthafa Al-Khin, Suyaikh Dr. Musthafa Al-Bugha, Syaikh ‘Ali Asy-Syabaji. Penerbit Darul Qalam.

Al-Haram fii Asy-Syari’ah Al-Islamiyah. Cetakan pertama, tahun 1432 H. Dr. Qutb Ar Risuni, terbitan Dar Ibni Hazm.

Al-Mawshu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.

Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’an (Tafsir Ath-Thabari). Cetakan pertama, tahun 1423 H. Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Khulashah Al-Fawaid wa Al-Qawa’id min Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Syaikh ‘Abdullah Al-Farih.

Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib. Al-Qadhi Abu Syuja’.

Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan ketiga, Tahun 1425 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

Syarh Al-Manzhumah As-Sa’diyah fi Al-Qowa’id Al-Fiqhiyyah. Cetakan kedua, tahun 1426 H. Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir bin ‘Abdul ‘Aziz Asy-Syatsri. Penerbit Dar Kanuz Isybiliya.

Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Imam Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Sabtu, 13 Januari 2024

Tadabbur Al Quran Hal. 354

Tadabbur Al-Quran Hal. 354
----------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

- Al Qur'an Indonesia Tajwid.

- An-Nur ayat 33 :

وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِيْنَ لَا يَجِدُوْنَ نِكَاحًا حَتّٰى يُغْنِيَهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ ۗوَالَّذِيْنَ يَبْتَغُوْنَ الْكِتٰبَ مِمَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ فَكَاتِبُوْهُمْ اِنْ عَلِمْتُمْ فِيْهِمْ خَيْرًا وَّاٰتُوْهُمْ مِّنْ مَّالِ اللّٰهِ الَّذِيْٓ اٰتٰىكُمْ ۗوَلَا تُكْرِهُوْا فَتَيٰتِكُمْ عَلَى الْبِغَاۤءِ اِنْ اَرَدْنَ تَحَصُّنًا لِّتَبْتَغُوْا عَرَضَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا ۗوَمَنْ يُّكْرِهْهُّنَّ فَاِنَّ اللّٰهَ مِنْۢ بَعْدِ اِكْرَاهِهِنَّ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barangsiapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa.

- Asbabun Nuzul An-Nur ayat 33 :

Firman-Nya, "Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran."

Muslim meriwayatkan dari Abu Sufyan dari Jabir bin Abdillah bahwa Abdullah bin Ubay pernah mengatakan kepada seorang budak wanitanya, "Pergilah dan melacurlah untuk kami!" Maka Allah menurunkan ayat ini. Muslim juga meriwayatkan dari ini bahwa seorang budak wanita milik Abdullah bin Ubay, yang benama Masikah, dan seorang budak wanita yang lain yang benama Umaimah, dipaksa oleh Abdullah untuk berzina, lalu keduanya mengadukan hal itu kepada Nabi saw.. Maka Allah menurunkan ayat ini Al-Hakim meriwayatkan dari Abuz Zubair dari Jabir bahwa Masikah datang kepada sebagian orang Anshar, lalu mengatakan, "Majikan aku memaksa aku melacur." Maka turunlah ayat ini 

Al-Bazzar dan ath-Thabrani meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari lbnu Abbas bahwa dahulu Abdullah bin Ubay punya Seorang budak wanita yang pada masa jahiliah melakukan pelacuran. Ketika zina diharamkan, budak ini berkata, "Demi Allah, aku tidak akan berzina untuk selamanya!" Maka turunlah ayat ini.

Al-Bazzar meriwayatkan hal senada dengan sanad yang lemah dari Anas, dan ia menyebut nama budak wanita itu Mu'adzah.

Sa'id bin Manshur meriwayatkan dari Sya'ban dari Amr bin Dinar dari 'Ikrimah bahwa Abdullah bin Ubay dahulu punya dua orang budak wanita: Masikah dan Mu'adzah. Abdullah memaksa mereka berzina. Maka salah seorang budak itu berkata, "Kalau zina memang bagus, aku sudah terlalu sering melakukannya. Tapi kalau tidak bagus, sudah sepatutnya aku meninggalkannya." Maka Allah menurunkan ayat ini.

- Tafsir Al Muyassar An-Nur ayat 33 :

Dan orang-orang yang tidak mampu menikah karena miskin atau karena sebab yang lain, maka hendaknya ia tetap menjaga kesucian dirinya dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah sampai Allah memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya dan memberikan kemudahan untuk menikah. Para budak baik wanita maupun lelaki yang ingin mengadakan perjanjian mukatabah dengan pemiliknya yakni mau membayar dengan sebagian harta yang mereka dapatkan kepada pemiliknya. Maka para pemilik budak tersebut hendaknya bersedia untuk membuat perjanjian mukatabah dengan budak yang dimilikinya jika ia melihat ada kebaikan di dalamnya. Yakni kebaikan secara akal dan ia mampu untuk bekerja serta kebaikan dalam agama. Dan hendaknya para pemilik budak tersebut memberikan sebagian hartanya kepada budaknya, atau mengurangi bayaran yang harus dibayar oleh budak yang mukatab. Kalian (para pemilik budak) tidak diperkenankan memaksa mereka untuk berbuat zina dengan kalian agar para budak wanita tersebut mendapatkan harta. Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi pada kalian, padahal mereka sebenarnya sangat ingin menjaga kehormatan mereka sedangkan kalian enggan memberikannya? Di dalam ayat ini terdapat penjelasan tentang buruknya perbuatan mereka tersebut. Barangsiapa yang memaksa para budak wanita untuk berbuat zina, maka sesungguhnya Allah pasti akan mengampuni dan menyayangi para budak tersebut, dan dosanya akan ditanggung oleh orang yang memaksanya.

- LatsinTbnu Kašir :

Ayat-ayat yang mulia dan jelas ini meliputi hukum-hukum yang sempurna dan perkara-perkara yang pasti secara Mujmal (global). Maka, firman Allah Swt., (Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan..., (QS An-Nūr, 24: 32) Ayat ini merupakan perintah menikahkan. Bahkan sebagian ulama memandang hukumnya wajib bagi orang yang sudah mampu.

Berdasarkan keterangan dari Rasulullah Saw. "Nikahkanlah wanita-wanita yang penyayang dan subur (banyak keturunan), karena aku akan berbangga kepada umat yang lain dengan banyaknya kalian."

Kata "Al-Ayām" ada yang mengartikan, perempuan yang belum bersuami, dan laki-laki yang belum beristri, termasuk bagi yang sudah menikah kemudian cerai, atau salah satu dari keduanya. Selanjutnya, firman Allah Swt., Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.

Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui. (QS An-Nür, 24: 32). Dari Ali bin Abi Talhah, dari Ibnu Abbas, dia berkata, "Allah Swt. menganjurkan untuk menikah. Perintah ini berlaku bagi hamba yang merdeka dan hamba sahaya, dan Allah Swt. menjanjikan mereka menjadi kaya."

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, "Tiga golongan yang pasti Allah tolong: orang yang ingin menikah agar dirinya terjaga dari dosa, budak yang ingin merdeka dari tuannya (dengan tebusan). dan orang yang berjihad di jalan Allah." (HR Al-Imam Ahmad, An-Nasāi, At-Tirmiżi, dan Ibnu Mājah).

Rasulullah Saw. pernah menikahkan seseorang yang tidak mempunyai apa-apa kecuali hanya selembar sarung, bahkan untuk mengadakan cincin dari besi saja tidak mampu. Dengan kondisi seperti itu Rasulullah Saw. menikahkannya dengan perempuan, dengan mahar (maskawin) mengajarkan hafalan Al-Qur'an. (bnu Kašir, Tafsirul Qur'ānil Azimi, Jilid 10, 1421 H/2000 M: 226, 227).

- Riyāduş Şālihin :

Dari Anas Ra., dia berkata, Ada tiga orang yang mendatangi rumah istri-istri Nabi Saw. untuk menanyakan tentang ibadah Nabi Saw. Setelah diberitahu, mereka merasa amalan mereka sangat sedikit. Mereka berkata, "lbadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah Saw. Bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang?" Salah seorang dari mereka berkata, Sungguh, aku akan salat malam selama-lamanya (tanpa tidur).

Kemudian yang lain berkata, 'Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan tidak akan berbuka.

Dan yang lain lagi berkata, Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya' Kemudian datanglah Rasulullah Saw. kepada mereka seraya bertanya, "Kalian yang berkata begini dan begitu. Adapun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah Swt. di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku salat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku, maka ia bukan Hadis di atas memberikan. Beberapa faedah di antaranya: termasuk golonganku." (HR AI-Bukhāri).

(a) Kesederhanaan dalam ibadah.
(b) Keutamaan sahabat Nabi Saw. dan semangat mereka dalam hal menambah ibadah dan ketaatan.
(c) Dorongan untuk menikah.
(d) Dibencinya şaum satu tahun penuh.
(e) Dibencinya salat malam sepanjang malam (tanpa tidur).
(f) Mengikuti apa yang dilakukan Nabi Saw. dan istiqamah adalah hakikat pendekatan diri kepada Allah Swt.
(Dr. Muştafā Said Al-Khin, Nuzhatul Muttaqina Syarhu Riyādis Şālihina, Juz 1, 1407H/1987 M: 167).

- Hadiš Nabawi :

Dari Algamah, dia berkata, "Aku bersama Al Aswad pernah menemui Abdullah, lalu dia menceritakan, "Pada waktu muda dulu, kami pernah bersama Nabi Saw. tetapi pada saat itu kami tidak (mempunyai) sesuatu pun, maka Rasulullah Saw. bersabda kepada kami, "Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sebab hal itu dapat meredakan nafsunya." (HR Bukhari, Sahihul Bukhāri, Juz 3, No. Hadis, 5066, 1422 H: 355).

- Hadis Qudsi :

Dari Ibu Mas'ud, dari Nabi Saw., beliau bersabda, "Rabb kita Swt. merasa kagum terhadap dua orang laki-laki, seorang laki-laki yang meninggalkan tempat tidur dan selimutnya di antara keluarga dan tidurnya untuk melaksanakan salat, lalu Rabb kita berfirman, Wahai para malaikat-Ku, lihatlah kepada hamba-Ku yang meninggalkan kasur dan selimutnya di antara tidur dan keluarganya untuk melaksanakan salat karena mengharap balasan di sisi-Ku dan takut azab di sisi-Ku. Dan seorang lak-laki yang berperang di jalan Alah Swt. lalu pasukannya menerima kekalahan, ia mengetahui dosa lari dari medan perang dan apa yang diperoleh jika ia kembali (berperang). lalu ia kermbali berperang hingga tertumpah darahnya karena mengharap balasan di sisi-Ku dan takut azab di sisi-Ku. Lalu, Allah Swt.
berfirman kepada para malaikat-Nya, 'Lihatlah hamba-Ku, ia kembali berperang karena mengharap balasan di sisi-Ku dan takut azab di sisi-Ku hingga tertumpah darahnya." (HR Ahmad). (işāmuddin As-Sabābati, Jāmiu'l Ahādisil Qudsiyyati, Jilid 1, t.t: 405)

- Penjelasan Surah An-Nur Ayat 32-36 :

Ayat 32-34 meneruskan  kaidah kehidupan sosial kaum mukmin sebelumnya: 

Segera menikahkan orang yang membujang, termasuk juga hamba-hamba yang saleh dan salehah. Kalau mereka miskin, Allah akan mencukupkan karunia-Nya kepada mereka. Bagi yang masih berat untuk menikah, maka hendaklah menjaga diri sampai Allah berikan karunia-Nya. 

Hamba sahaya yang berniat memerdekakan dirinya, hendaklah dibebaskan jika yakin di dalam dirinya ada kebaikan dan berilah mereka bantuan keuangan. 

Diharamkan mempekerjakan hamba sahaya sebagai pekerja seks. Apalagi wanita merdeka, tentu lebih haram lagi.  

Dari 13 kaidah kehidupan sosial yang Allah jelaskan dalam surah ini jelas  sekali bahwa peran keimanan, ibadah, akhlak mulia, tolong menolong dalam ekonomi sangat efektif menanggulangi penyakit sosial, khususnya perzinahan.

Ayat 35-36 menjelaskan Allah pemilik cahaya langit dan bumi. Al-Qur’an adalah cahaya yang menerangi hati manusia. Bila hati seorang  mukmin mendapat cahaya Al-Qur’an maka hatinya akan hidup terang benderang dan tidak  akan tersesat dalam kehidupan dunia.  Masjid adalah tempat meninggikan, berzikir pada Allah dan bertasbih kepada-Nya waktu pagi dan petang.

Selasa, 09 Januari 2024

UNTUKMU YANG TELAH BERUMUR 40 TAHUN

Tematik (183)
---------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

UNTUKMU YANG TELAH BERUMUR 40 TAHUN

SERTA DO’A BAGI ORANG YANG SUDAH BERUMUR 40 TAHUN ATAU LEBIH

Allah Ta’ala berfirman :

{وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ} [الأحقاف: 15]

(Artinya) :
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah 30 bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai 40, dia berdoa :

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

 (Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal shalih yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri))”. (QS. Al-Ahqaf : 15).

PENJELASAN DAN FAIDAH AYAT :

(1) Al-Hafizh Ibnu Ka-tsir berkata :

وَهَذَا فِيهِ إِرْشَادٌ لِمَنْ بَلَغَ الْأَرْبَعِينَ أَنْ يُجَدِّدَ التَّوْبَةَ وَالْإِنَابَةَ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَيَعْزِمُ عَلَيْهَا

“Dan didalam ayat ini terdapat petunjuk bagi orang yang telah sampai pada umur 40 tahun agar memperbarui taubatnya dan kembali kepada Allah عَزَّ وَجَلّ serta bersungguh-sungguh akan hal tersebut”. (Tafsir Ibnu Ka-tsir : 7/281).

(2) Al-Imam Asy-Syaukani berkata :

وَفِي هَذِهِ الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَنْبَغِي لِمَنْ بَلَغَ عُمْرُهُ أَرْبَعِينَ سَنَةً أَنْ يَسْتَكْثِرَ مِنْ هَذِهِ الدَّعَوَاتِ

“Dan didalam ayat ini terdapat dalil bahwa sepantasnya bagi orang yang umurnya telah mencapai 40 tahun untuk memperbanyak berdo’a dengan do’a tersebut”. (Fat-hu Al-Qadir : 5/22).

(3) Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hambali berkata :

هذا من تمام برّ الوالدين، كأنَّ هَذا الوَلَدَ خَافَ أَنْ يكون وَالِدَاهُ قَصَّرا فِي شُكْرِ الرَّبِّ عز وجل، فسأل اللَّه أن يُلْهِمَهُ الشُّكْرَ على ما أنعم به عليه وعليهما؛ ليَقُوم بما وَجَبَ عَلَيْهِما من الشُّكر إن كانا قَصَّرا.

“Dan ini adalah bentuk kesempurnaan berbakti kepada kedua orangtua, karena anak tersebut (yang berdo’a dengan do’a itu) ada kekhawatiran pada dirinya bahwa kedua orangtuanya kurang dalam hal bersyukur kepada Rabb عز وجل, sehingga ia meminta kepada Allah agar diberi kepandaian untuk bersyukur atas nikmat yang telah diberikan kepadanya dan kepada kedua orangtuanya, sehingga bisa mengerjakan apa yang diwajibkan atas kedua orangtuanya dari bersyukur jika sekiranya mereka kurang bersyukur”.
(Tafsir Ibnu Rajab : 2/59).

(4) Syaikh Muhammad bin Ali bin Jamil Al-Mathariy berkata :

في الآية أن على المسلم أن يعتز بكونه من المسلمين، ولا ينتسب لاسم غيره، ولا يتعصب لشيء سواه، ولا يدعو الناس إلى بدع محدثة، وآراء مخترعة، لم يعرفها المسلمون الأولون، بل هو متَّبِعٌ لا مُبتدِعٌ، فهو من جملة المسلمين الذين استسلموا لله بالتوحيد، وانقادوا له بالطاعة، وتبرؤوا من الشرك وأهله

“Dalam ayat ini menunjukkan bahwa bagi seorang muslim agar menjadikan dirinya mulia sebagai seorang muslim yang sejati, dan tidak menyandarkan dirinya kepada nama (kelompok/golongan) yang lain, serta tidak fanatik kepada selainnya (dari berbagai macam kelompok dan golongan yang ada), begitu pula tidak mengajak manusia kepada perbuatan bid’ah yang dibuat-buat (dalam urusan agama) atau (mengikuti) pendapat-pendapat yang menyimpang yang tidak diketahui oleh kaum muslimin generasi awal (yaitu para sahabat), akan tetapi seharusnya dia adalah Ittiba’ (mengikuti Nabi ﷺ) dan tidak menjadi Mubtadi’ (pelaku bid’ah), tetapi seharusnya dengan menjadi bagian dari kaum muslimin yang menyerahkan dirinya kepada Allah dengan bertauhid (yang benar), tunduk patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan, serta berlepas diri dari perbuatan syirik dan pelaku syirik”.
(Mauqi’ Al-Alukah no. web : 132458).

(5) Dan sebelumnya, kami sudah pernah menuliskan materi yang terkait dengan masalah ini yaitu :

JANGAN TERTIPU DENGAN DOSA-DOSAMU YANG MUNGKIN SAAT INI BELUM TERLIHAT ATAU BELUM TERASA DAMPAK BURUKNYA

BISA JADI AKIBAT ATAU PENGARUH DOSA ITU BARU TERLIHAT ATAU BARU TERASA SETELAH BERUMUR 40 TAHUN

Yaitu penjelasan tentang Sabda Nabi ﷺ :

إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الخَيْرَ عَجَّلَ لَهُ العُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدِهِ الشَّرَّ أَمْسَكَ عَنْهُ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِيَ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ

“Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba, maka balasan (dari perbuatan dosanya) akan disegerakan baginya didunia, akan tetapi jika Allah menghendaki keburukan kepada seorang hamba, maka (balasan) dari perbuatan dosanya akan ditunda sampai diberikan secara penuh pada hari kiamat”. (Hadits Shahih).

(HR. At-Tirmidzi no. 2396, Al-Hakim no. 8799, Ibnu Hibban no. 4405 dan yang lainnya).

PENJELASAN DAN FAIDAH HADITS :

1- Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam : Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada seorang hamba*

Penjelasan :

أي: إذا قضَى وقدَّرَ رَحمتَه لِعبدٍ مِن عبادِه

“Yaitu : Jika (Allah) telah menetapkan dan menakdirkan rahmat-Nya kepada seorang hamba dari hamba-hamba-Nya”.

(Syurul Ahadits Min Ad-Durar As-Saniyah no. 75513).

2- Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam : Maka balasan (dari perbuatan dosanya) akan disegerakan baginya didunia.

Penjelasan :

الإنسانُ لا يَخلو مِن خَطأٍ ومعصيةٍ وتقصيرٍ في الواجبِ، ومَن لَطَف اللهُ به وأرادَ به خيرًا عَجَّلَ له عُقوبةَ ذَنبِه في الدُّنيا؛ لأنَّ عذابَ الدُّنيا أهونُ عليه مِن عذابِ الآخِرَة.
أي: ابتَلاه بما يَسُوءُه، إمَّا في مالِه، أو نفسِه، أو أهلِه؛ وذلك لأنَّ الابتلاءَ يكفِّرُ السَّيِّئاتِ، والمؤمنُ لا يَقْوَى على عذابِ الآخرةِ؛ فذلك مِن عظيمِ رحمةِ الله بعبدِه المؤمنِ؛ فإنَّه يُوافي اللهَ يومَ القِيامةِ وليس عليه ذَنبٌ، قد طهَّرَتْه المصائبُ والبلايَا.

“Karena manusia tidak luput dari kesalahan dan maksiat dan terdapat kekurangan dalam mengerjakan ibadah wajib, maka diantara bentuk kelemah-lembutan Allah dan keinginan (berupa kebaikan) kepada seorang hamba adalah menyegerakan balasan (hukuman) nya didunia atas dosa yang dikerjakannya, karena adzab dunia lebih ringan daripada adzab akhirat.

Maksudnya : Allah akan memberikan cobaan kepadanya dari perbuatan buruknya tersebut, baik pada hartanya, atau dirinya sendiri, atau kepada keluarganya karena dengan cobaan tersebut akan menghapuskan dosa-dosanya (jika ia mampu bersabar -pent), karena seorang mukmin tidak akan kuat dengan siksaan di akhirat, maka itu diantara besarnya rahmat Allah kepada hambanya yang beriman, sampai ketika dihisab pada hari kiamat maka dia tidak lagi memiliki dosa sedikit pun karena telah disucikan dengan berbagai musibah dan bencana (yang menimpanya dengan penuh kesabaran -pent)”.

(Syarah Riyadush Shalihin : 1/258 karangan Syaikh Al-Utsaimin, Syurul Ahadits Min Ad-Durar As-Saniyah no. 75513 oleh Syaikh ‘Alawi As-Saqqaf).

= Syaikh DR. Abdullah Al-Faqih berkata :

فما ينزل بالعبد من مصائب وآلام وأحزان، مما يكفر به من سيئاته، فهي رحمة من الله تعالى به، سواء كانت عقوبة على ذنب، أو كانت ابتلاء لرفع الدرجات.
ولا ينبغي للعبد أن يحسن الظن بنفسه، فيراها نقية من الذنوب، ثم يتوهم أن ما نزل به هو بلاء لم يترتب على ذنب، وليس من فائدة تعود على الإنسان إذا ميز بين العقوبة والابتلاء، فهو مأمور بالصبر في الحالين، مع تكفير سيئاته وكونه ممن أراد الله بهم الخير أيضاً.

“Sehingga apa saja yang menimpa seorang hamba dari berbagai macam musibah, rasa sakit/kepedihan dan kesedihan, maka itu bisa menghapuskan dosa-dosanya dan itu adalah rahmat Allah Ta’ala kepadanya, baik itu disebakan karena balasan dari perbuatan dosanya, atau musibah yang bertujuan untuk mengangkat derajatnya.

Seorang hamba tidak pantas berbaik sangka kepada dirinya sendiri, dengan melihat dirinya bersih dari dosa (atas musibah yang menimpanya), lalu dia mengira bahwa yang menimpanya adalah musibah yang bukan diakibatkan oleh dosa, sehingga tidak ada manfaat jika itu terjadi kepada seseorang sedangkan ia tidak bisa membedakan antara siksaan (didunia) dan sekedar tertimpa musibah, karena kedua kondisi tersebut sama-sama harus dijalani dengan penuh kesabaran sekaligus bisa menjadi penghapus dosa-dosanya, sehingga dia termasuk orang yang dinginkan kebaikan oleh Allah atas mereka”.

(Fatawa Asy-Sabakah Al-Islamiyah no. 19810).

3- Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam : Akan tetapi jika Allah menghendaki keburukan kepada seorang hamba.

Penjelasan :

الأمور كلها بيد الله عز وجل وبإرادته، لأن الله تعالى يقول عن نفسه )فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ) (البروج: 16) ، ويقول (إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ) (الحج: من الآية18) ، فكل الأمور بيد الله.

“Maka segala urusan semuanya berada di Tangan dan keinginan Allah عزَّ وجلَّ, karena Allah Ta’ala berfirman tentang diri-Nya sendiri : ((Dia-lah (Allah) yang melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya)) (QS. Al-Buruj : 16), dan Firman-Nya : (Sesungguhnya Allah mengerjakan apa yang dikehendaki-Nya) (QS. Al-Hajj : 18), maka semua urusan berada di Tangan Allah”.

(Syarah Riyadush Shalihin : 1/258 karangan Syaikh Al-Utsaimin).

~ Bahkan bisa jadi, Allah memberikan kesenangan dunia kepadanya dalam keadaan ia banyak berbuat dosa dan maksiat sebagaimana yang Nabi ﷺ sabdakan :

إِذَا رَأَيْتَ اللهَ يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى مَعَاصِيهِ مَا يُحِبُّ، فَإِنَّمَا هُوَ اسْتِدْرَاجٌ " ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ} [الأنعام: 44]

“Jika engkau melihat bahwa Allah memberikan dunia kepada seorang hamba dengan sesuatu yang ia sukai sedangkan ia suka berbuat maksiat, maka sesungguhnya itu hanyalah merupakan *ISTIDRAJ*. Kemudian Rasulullah ﷺ membacakan Firman Allah : (Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang Telah diberikan kepada mereka, kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka, sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS. Al An’am : 44)”. (Hadits Hasan).

(HR. Ahmad no. 17311).

4- Sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam : Maka (balasan) dari perbuatan dosanya akan ditunda sampai diberikan secara penuh pada hari kiamat

Penjelasan :

أي: لم يُعجِّلْ عُقوبتَه على ما ارتكَبه مِن الذَّنبِ، وجمَع له ذنوبَه وسيِّئاتِه دون أن يُجازيَه بشيءٍ منها في الدُّنيا، حتَّى يَلْقاه بها يومَ القيامةِ، فتكونَ عُقوبتُه مِن نارِ جهنَّمَ على قدرِ ما كانتْ عليه مِن سيِّئاتٍ

“Yaitu : Balasan dosa-dosanya tidak disegerakan, sehingga dikumpulkan semua dosa dan keburukannya tanpa ada yang dibalas sedikit pun didunia, sampai ia bertemu dengan Allah dengan membawa semua dosa dan keburukannya tersebut pada hari kiamat, sehingga balasan (yang tepat baginya) adalah neraka Jahannam sesuai dengan kadar banyaknya perbuatan dosanya”. (Syurul Ahadits Min Ad-Durar As-Saniyah no. 75513).

5- Faidah Hadits :

(1) Syaikh DR. Abdullah Al-Faqih berkata :

وللحديث قصة مثبتة في رواية أحمد عن عبد الله بن مغفل رضي الله عنه : أَنَّ رَجُلًا لَقِيَ امْرَأَةً كَانَتْ بَغِيًّا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَجَعَلَ يُلَاعِبُهَا حَتَّى بَسَطَ يَدَهُ إِلَيْهَا، فَقَالَتِ الْمَرْأَةُ: مَهْ، فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ ذَهَبَ بِالشِّرْكِ - وَقَالَ عَفَّانُ مَرَّةً: ذَهَبَ بِالْجَاهِلِيَّةِ - وَجَاءَنَا بِالْإِسْلَامِ. فَوَلَّى الرَّجُلُ، فَأَصَابَ وَجْهَهُ الْحَائِطُ، فَشَجَّهُ، ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ: " أَنْتَ عَبْدٌ أَرَادَ اللهُ بِكَ خَيْرًا. إِذَا أَرَادَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِعَبْدٍ خَيْرًا عَجَّلَ لَهُ عُقُوبَةَ ذَنْبِهِ، وَإِذَا أَرَادَ بِعَبْدٍ شَرًّا أَمْسَكَ عَلَيْهِ بِذَنْبِهِ حَتَّى يُوَافِى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ عَيْرٌ "

“Dan hadits ini memiliki kisah yang terpercaya dalam riwayat (Imam) Ahmad dari Abdullah bin Mughaffal رضي الله عنه bawa ia berkata : Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang bertemu dengan seorang wanita yang pernah menjadi wanita pezina pada zaman Jahiliyyah, lalu dia mencumbuinya sampai dia meletakkan (menyentuhkan) tangannya kepada (wanita tersebut). Lalu wanita itu berkata : Tahan, sesungguhnya Allah عَزَّ وَجَلَّ telah menghilangkan kesyirikan. (Dalam riwayat yang lain) ‘Affan (yang meriwayatkan kisah ini) berkata : Telah hilang ke-Jahiliyah-an dan Islam telah datang kepada kami. Lalu laki-laki itu pergi meninggalkannya, lalu wajahnya terkena dinding sehingga menjadi luka. Lalu dia mendatangi Nabi ﷺ dan menceritakannya kepada Beliau, lalu beliau bersabda : Engkau adalah seorang hamba, yang Allah menghendaki kebaikan kepadamu, karena jika Allah عَزَّ وَجَلَّ menghendaki suatu kebaikan kepada seorang hamba, niscaya akan disegerakan siksaannya atas dosanya (didunia). Akan tetapi jika Dia (Allah) menghendaki keburukan, maka Dia (Allah) akan menangguhkan karena dosanya sehingga akan dibalasnya dengan dosa itu pada hari kiamat (sedangkan ia membawa dosa seperti dosa sebesar gunung -pent)”.

(Hadits Shahih).

(HR. Ahmad no. 16806 dan Ibnu Hibban no. 2911).

(2) Syaikh Abdullah Al-Ghunaiman berkata :

هذا الحديث المقصود بالخير والشر فيه: الجزاء، وإلا فأفعال الله جل وعلا كلها خير، ولكن الشر يكون إضافياً، أي: يكون بالنسبة إلى المجزي به شراً عقاباً له، وهو جزاء أعماله، ولكن بالنسبة لله جل وعلا فهو خير وأمن؛ لأن الله لا يفعل إلا خيراً.

“Maksud hadits ini dengan “kebaikan” dan “keburukan” adalah : Balasannya, karena pada asalnya semua perbuatan Allah جل وعلا adalah baik, akan tetapi menjadi buruk karena bersandar kepada sesuatu, yaitu : Menurut yang diberikan balasan tersebut adalah keburukan sebagai balasan baginya, dan itu adalah balasan atas perbuatannya, akan tetapi bagi Allah جل وعلا maka itu adalah kebaikan dan keselamatan, karena Allah tidak mengerjakan sesuatu kecuali kebaikan”.

(Syarah Fathul Majid : 93/8 dengan penomoran Asy-Syamilah).

(3) Bisa jadi Allah tidak menyegerakan hukuman atas suatu dosa didunia, akan tetapi menundanya diakhir-akhir kehidupan seseorang ketika ia sudah tua (berumur 40 tahun lebih) ketika badannya sudah mulai melemah lalu Allah menimpakan baginya musibah dan bencana serta cobaan - kita memohon keselamatan, kesehatan dan kekuatan kepada Allah untuk senantiasa beribadah kepadaNya-, sebagaimana perkataan Al-Imam Muhammad bin Sirin yang dinukil oleh Al-Imam Ibnul Qayyim :

أنّه لمّا ركبه الدَّينُ اغتمّ لذلك، فقال: إنّي لأعرفُ هذا الغمَّ بذنب أصبتُه منذ أربعين سنة

“Bahwa ketika beliau kesulitan membayar hutangnya, beliau lalu berkata : Sesungguhnya aku mengetahui bahwa penyebab dari kesulitan tersebut adalah karena dosa yang pernah aku kerjakan sejak 40 tahun yang lalu”.

(Ad-Da-’ Wa Ad-Dawa-’ : 1/130).

~ Diperhatikan : Beliau masih mengingat dosa yang dikerjakannya padahal sudah berlalu 40 tahun lamanya, bagaimana dengan dosa-dosa yang pernah kita kerjakan ? 

Mungkin bukan lagi mengingatnya, bahkan mungkin sudah kita lupakan ?!

Senin, 08 Januari 2024

Tadabbur Al Quran Hal. 353

Tadabbur Al-Quran Hal. 353
----------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

- Al Qur'an Indonesia Tajwid.

- An-Nur ayat 29 :

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَدْخُلُوْا بُيُوْتًا غَيْرَ مَسْكُوْنَةٍ فِيْهَا مَتَاعٌ لَّكُمْۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تُبْدُوْنَ وَمَا تَكْتُمُوْنَ

Tidak ada dosa atasmu memasuki rumah yang tidak dihuni, yang di dalamnya ada kepentingan kamu; Allah mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan.

- Asbabun Nuzul An-Nur ayat 29 :

Diriwayatkan oleh Al Faryabi dan lbnu Jarir, yang bersumber dari Adi bin Tsabit, bahwa seorang wanita Anshar mengadu kepada Rasulullah: "Ya Rasulullah, aku berada di rumahku dalam keadaan aku tidak ingin dilihat oleh orang lain. Akan tetapi selalu saja ada laki-laki dari familiku masuk ke dalam rumahku. Apa yang harus aku lakukan?" Maka turunlah ayat ini yang melarang kaum Mukminin memasuki rumah orang lain sebelum meminta izin dan mengucapkan salam.

Diriwayatkan oleh lbnu Abi Hatim yang bersumber dari Muqatil bin Hibban, bahwa ketika turun ayat yang memerintahkan supaya minta izin apabila hendak memasuki rumah orang, berkatalah Abu Bakr: "Ya Rasulullah, bagaimana dengan pedagang-pedagang Quraisy yang hilir mudik ke Mekah, Madinah, Syam, dan mereka memiliki rumah-rumah tertentu di jalan, apakah mereka mesti meminta izin dan memberi salam padahal tidak ada penghuninya?" Maka turunlah ayat selanjutnya (An Nur: 29) yang membolehkan kaum Mukminin memasuki rumah yang disediakan bukan untuk tempat tinggal karena keperluan tertentu.

Sumber: Asbabun Nuzul-K.H.Q.Shaleh - H.AA. Dahlan dkk.

- Tafsir Al Muyassar An-Nur ayat 29 :

Namun boleh bagi kalian masuk tanpa ijin ke dalam rumah yang tidak disediakan untuk didiami oleh orang tertentu. Tapi rumah yang disediakan untuk orang yang membutuhkan, misalnya rumah yang ada di jalan-jalan para musafir dan yang lainnya dan disedekahkan kepada ibnu sabil (musafir) yang di dalamnya ada manfaat dan keperluan bagi orang yang akan memasukinya. Sedangkan untuk meminta izin terlalu sulit. Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui keadaan kalian yang Nampak maupun yang tersembunyi.

- Tatsir lbnu Kasir :

Inilah perintah Allah Swt. kepada hambaNya yang mukmin, yaitu agar menundukkan pandangan mereka dari perkara yang diharamkan atas mereka dan tidak memandang kecuali kepada yang dibolehkan. Mereka diperintah untuk menundukkan pandangan dari melihat yang bukan muhrim. Jika secara kebetulan pandangan itu tertuju pada yang bukan muhrim dengan tidak diniatkan, segeralah memalingkan pandangan darinya. Sebagaimana riwayat Imam Muslim dalam kitab sahihnya, dari sahabat Jarir bin Abdullah Al Bajali Ra., ia bertanya kepada Rasulullah Saw. mengenai pandangan (pada yang bukan mahram) secara kebetulan.

Lalu, beliau menyuruh agar memalingkan pandangan. Abu Dawud berkata dari lbnu Buraidah, dari ayahnya, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda kepada Ali, "Wahai Ali, janganlah engkau mengikuti pandangan pertama dengan pandangan yang lain (berikutya). Sesungguhnya bagimu pandangan yang pertama, dan tidak pandangan yang lainnya (berikutnya)." Dalam kitab Sahih Al-Bukhari, dari Sahl bin Sa'd As-Sa'idi, ia berkata, Nabi Saw. bersabda, "Barangsiapa menjamin untukku keselamatan apa yang ada di antara kedua kaki dan apa yang di antara kedua rahangnya, maka aku jamin untuknya surga."

Pandangan bisa menuntun pada kerusakan hati, sebagaimana menurut sebagian ulama salaf, pandangan itu ibarat sebuah panah yang meracuni hati. Oleh karena itu, Allah Swt. memerintahkan untuk memelihara atau menjaga Farji (kemaluan) sebagaimana perintah menjaga pandangan, karena pandangan dapat mendorong kepada hal itu (zina). Lalu firman-Nya, Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya.. (QS An-Nūr, 24: 30) seringkali menjaga pandangan dapat mencegah diri dari perbuatan zina, sebagaimana firman-Nya, Dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. (QS Al-Mu'minūn, 23: 5-6).

{ ...yang demikian itu lebih suci bagi mereka. } (QS An-Nūr, 24: 30), yakni dapat menyucikan hati mereka dan memelihara agama mereka. (Ibnu Kašir, Tafsirul Qur'ànil Azimi, Jilid 10, 1421 H/2000 M: 212-214).

- Hadis Nabawi :

Dari Abu Sa'id Al-Khudriy Ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda, "Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan." Mereka bertanya, Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat kami bercengkerama.' Beliau bersabda, ika kalian tdak mau meninggalkan majelis seperti itu, maka tunaikanlah hak jalan tersebut. Mereka bertanya, 'Apa hak jalan itu? Beliau menjawab, "Menundukkan pandangan, menyingkirkan halangarn, menjawab salam, dan amar ma'ruf nahi munkar." (Sahihu'l Bukhāri, Juz 2, No. Hadis 2465, 1422 H: 213),

- Hadiš Qudsi :

Dari Abdullah bin Mas'ud, ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda, "Tuhan kalian Swt. merasa kagum kepada seorang laki-laki yang berperang di jalan Allah. Sedangkan sahabat-sahabatnya mengalami kekalahan. Dia mengetahui apa yang mesti dia lakukan. Kemudian ia kembali (dari medan perang) dengan bercucuran darah. Kemudian Allah Swt. berfirman kepada para malaikat-Nya, Lihatlah hamba-Ku, ia kembali karena menginginkan apa yang ada di sisi-Ku, dan rindu kepada apa yang ada di sisi-Ku hingga bercucuran darahnya." (HR Abu Däwud) (Isāmuddin As-Sabaābati, Jāmiu'l Ahādiši Qudsiyyati, Jilid 1, t.t: 410).

- Penjelasan Surah An-Nur Ayat 28-31:

Ayat 28-31 meneruskan 5 kaidah kehidupan sosial mukmin sebelumnya, yaitu: 

Dilarang memasuki rumah yang tidak ada pemiliknya di dalamnya kecuali jika diizinkan. Jika pemilik rumah yang dikunjungi itu tidak siap menerima, maka hendaklah tinggalkan rumah tersebut. Hal itu lebih menjaga kesucian  diri si pengunjung. 

Dibolehkan memasuki rumah atau bangunan umum yang tidak ada penjaganya jika di dalamnya ada barang milik si pengunjung, dengan tujuannya hanya mengambil barang tersebut. 

Diwajibkan bagi para lelaki mukmin menundukkan pandangannya waktu melihat wanita yang bukan mahram, sebagaimana diwajibkan kepada mereka menjaga kemaluan. Itulah jalan terbaik menjaga kesucian diri mereka. 

Diwajibkan bagi para wanita mukminah menundukkan pandangan waktu melihat lelaki yang bukan mahram, menjaga kemaluan, menutup perhiasan kecuali yang biasa tampak  (cincin dan gelang kaki) dan menutupkan kerudung ke dada.

Para wanita mukminah dilarang membuka aurat mereka kecuali kepada suami, bapak, bapak mertua, putra, anak tiri laki-laki, saudara kandung laki-laki, putra saudara laki-laki, putra saudara perempuan (keponakan), sesama wanita Mukminah, budak, pembantu lelaki tua yang sudah tidak memiliki keinginan  kepada wanita atau anak-anak kecil yang belum mengerti aurat wanita. Demikian juga para wanita mukminah dilarang berjalan menghentakkan kakinya supaya diketahui perhiasannya (gelang kaki) yang tersembunyi. 

Inilah beberapa kaidah kehidupan sosial yang wajib ditaati agar kaum mukmin dan Mukminah terjaga kesucian diri mereka. Sungguhpun demikian, tobat adalah solusi meraih kemenangan.