بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Minggu, 05 September 2021

10 Ulama Besar yang Dipenjara

Berikut ini ada 10 ulama besar korban kriminalisasi penguasa.

Sa’id bin Musayyab

Seorang ulama besar bernama Sa`id bin al-Musayyib pernah mengalami kriminalisasi saat menolak baiat kepada putra Abdul Malik (al-Walid dan Sulaiman) sebagai ganti dari Abdul Aziz bin Marwan, akhirnya Hisyam bin Ismail [selaku Gubernur Madinah] memberi sanksi 60 cambukan kepadanya, dan dipenjara. [Siyaru A`lâm An-Nubalâ, 5/130] Pada riwayat lain bahkan Sa`id diboikot, tidak diajak bicara[al-Thabâqatu al-Kubra, 5/128], bahkan dicambuk [Siyaru A`lâm An-Nubalâ, 4/232].

Sa’id bin Jubair

Lebih parah dari itu peristiwa itu, Sa`id bin Jubair seorang Tabi`in dipenggal kepalanya oleh Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi, yang merupakan panglima ‘bertangan besi’ dari kekhilafaan Umawi, gara-gara menentang khilafah Umawi bersama Ibnu al-Asy`ats [Wafayâtul A`yân, 2/373] Demi memegang kebenaran, ia tak gentar kalaupun pada akhirnya harus gugur.

Abu Hanifah

Pada zaman khilafah Abbasiyah, Imam Abu Hanifah dicambuk [Târîkh Baghdâd, 13/327] dipenjara oleh al-Manshur gara-gara menolak dijadikan Qadhi [Siyaru A`lam An-Nubalâ, 6/401].

Imam Abu Hanifah dicambuk dan dipenjara di era penguasa al-Manshur pada zaman Dinasti Abbasiyah. Dia ditahan karena menolak dijadikan qadhi.

Sebelum itu, di zaman Era Dinasti Umayyah, ,Imam Abu Hanifah juga pernah ditahan saat Marwan bin Muhammad menjadi penguasa karena menolak tawaran menjadi hakim.Akibatnya di daerah Al -Kinasah ,beliau di cambuk seratus kali,ketika sang Imam menampik tawaran Ibnu Hubairah menjadi pengurus Baitul Mal,akhirnya beliaupun di cambuk.

Beliau meninggal dunia pada bulan Rajab 150H/767M ketika berusia 68 tahun), yakni ketika berada di dalam penjara karena memakan makanan yang telah diracuni. Dalam riwayat lain, disebutkan beliau dipukul dalam penjara sampai wafat.

Meninggalnya Imam Abu Hanifah menjadi kehilangan yang amat besar bagi umat Islam. Sholat jenazahnya dilakukan sebanyak enam gelombang, dan dengan jamaah setiap sholat mencapai 50 ribu orang.

Tsufyan Ats-Tsauri

Senada dengan kisah tersebut, Imam Sufyan Ats-Tsauri pun pernah berselisih dengan al-Mahdi lantaran tidak mau dijadikan Qadhi, sampai akhirnya ia lari ke Bashrah [Hilyatul Auliyâ, 40/7-41]

Malik bin Anas

Nasib Imam Malik bin Anas juga tak jauh lebih indah, beliau dicambuk karena membangkang pada perintah Abu Ja`far al-Manshur, lantaran tetap meriwayatkan hadits, “Tidak ada talak bagi orang yang dipaksa.”[Wafayâtul A`yân, 4/137].

Wahid Abdussalam Bâli dalam buku “Ulamâ wa Umarâ`” (1410: 181) menceritakan konflik Imam Malik dengan penguasa. Alkisah, Ja’far bin Sulaiman –sepupu Abu Ja’far Al-Manshur- berniat buruk kepada Imam Malik. Dituduhkan rumor bahwa beliau tidak mengakui kepemimpinan Ja’far Al-Manshur. Mendengar berita itu, kuping Abu Ja’far panas, lalu memerintahkan kepada tentaranya untuk mencambuk beliau.

Imam Maliki adalah pakar ilmu fikih dan hadits, serta pendiri Mazhab Maliki . Juga merupakan guru dari Muhammad bin Idris pendiri Madzhab Syafii . Beliau sempat masuk penjara di Kota Madinah karena melawan fatwa pemerintah.

Alkisah,Imam Maliki dijebloskan ke penjara oleh gubernur Kota Madinah pada tahun 147H/764M. Di dalam penjara beliau disiksa gara-gara menolak membenarkan fatwa hukum thalaq yang diberlakukan oleh pemerintah Abbasiyah, Kala itu, pemerintah Abbasiyah membuat fatwa bahwa semua penduduk perlu taat kepada pemimpin negara dan barangsiapa yang enggan maka akan jatuh thalaq atas isterinya.

Lantaran rakyat lebih taat kepada para ulama kerimbang politisi, pemerintah Abbasiyah memaksa Imam Malik untuk mengesahkan fatwa pemerintah tersebut. Imam Maliki menolak, bahkan beliau mengeluarkan fatwa yang menyatakan aturan thalaq pemerintah tidak berpengaruh terhadap hubungan suami-istri alias tidak jatuh talaknya

Selanjutnya, Imam Maliki ditangkap dan disiksa. Tulang bahu beliau patah. Cidera ini amatlah berat sehingga beliau tidak lagi dapat salat dengan memegang kedua tangannya di dada, lalu dibiarkan saja terkulai di tepi badannya.

Imam Maliki dibebaskan dari penjara dan beliau terus kembali mengajar di Madinah sehingga beliau meninggal dunia pada 11 Rabiul-Awwal, tahun 179H/796M, ketika berusia 86 tahun (Hijriah).

Imam Syafi’i

Imam Syafi`i dituduh sebagai pendukung Syi`ah oleh pendengkinya, Mutharrif bin Mâzin. Bahkan dia memprovokasi Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin. Diutuslah Hammad al-Barbari untuk menangkap Imam Syafi`i dan orang-orang alawiyin. Ia dirantai dengan besi bersama orang alawiyin dari Yaman hingga Raqqah, kediaman Harun Ar-Rasyid [Siyaru A`lâm al-Nubalâ, 8/273]. Bayangkan, betapa sengsaranya dirantai dengan besi dari Yaman hingga Baghdad.

Imam Syafii pernah dituding mendukung Syiah oleh orang yang dengki dengan dirinya, yaitu Mutharrif bin Mâzin. Mutharrif memprovokasi Harun Ar-Rasyid untuk menangkap Imam Syafii dan orang-orang Alawiyin.

Mutharrif memfitnah dan melaporkan pada Khalifah Harun bin Rasyid, lalu menyebut Imam Syafii terlibat dalam rencana merongrong kekuasaan Harun Al-Rasyid. Kemudian Imam Syafii ditangkap. Tangan dan kakinya diikat dengan rantai, lalu diarak di jalanan sebagai sosok yang tertuding melawan kekuasaan negara.

Namun Khalifah Harun Al-Rasyid adalah sosok yang cerdas dan bijaksana. Tuduhan bahwa beliau seorang yang terlibat sebagai bagian dari Syiah Rafidhah yang diduga merencanakan konspirasi perlawanan tidak terbukti kemudian dilepaskan.

Ahmad bin Hanbal

Murid beliau pun, Imam Ahmad bin Hanbal juga pernah mengalami nasib yang lebih menyakitkan dengan penguasa. Ia dicambuk, dipenjara selama 30 bulan oleh Ma`mun gara-gara tidak mengakui kemakhlukan al-Qur`an sebagaimana yang diyakini mu`tazilah [al-Kâmil fi at-Târîkh, 3/180].

Imam Ahmad bin Hanbal pernah dicambuk dan dipenjara selama 30 bulan oleh Khalifah Makmun karena tidak mengakui sisi kemakhlukan Alquran seperti yang diyakini aliran muktazilah.

Khalifah Al-Makmun saat itu menyukai bidang filsafat dan mulai memaksakan pandangannya tentang Alquran bahwa Alquran adalah makhluk, lantas para ulama dipaksa mengikuti pemikirannya.

Namun Imam Ahmad bin Hanbal menolak mengikuti pemikiran Al-Makmun dan meyakini Alquran adalah kalamullah dan bukan makhluk. Setelah itu Imam Ahmad dipenjara. Lalu bebas setelah Khalifah Al-Mutawakkil menjalankan kekuasaan.

Imam Bukhari

Imam Bukhari pun akhirnya pergi dari negerinya karena “berusaha disingkirkan” oleh Penguasa Dhahiriyah di Bukhara saat itu, Khalid bin Ahmad al-Dzuhali. Penyebabnya, Imam Bukhari menolak permintaan Khalid untuk mengajar kitab “al-Jâmi`” dan “al-Târîkh” di rumahnya. Bukhari beralasan, seharusnya yang butuh ilmulah yang mendatanginya, bukan ulama yang mendatangi yang butuh. Pada akhirnya, Bukhari meninggalkan negerinya [Târîkh Baghdâd, 2/33].

Imam Nawawi

Menurut Ibnu al-Aththar, Imam Nawawi adalah ulama yang berani berhadapan langsung dengan penguasa. Demi kebenaran, dia tidak takut dicela. Jika tidak mampu menghadapi secara langsung, beliau menyampaikan kritik dengan mengirim surat.

Suatu saat, akibat kritikan yang sangat sangat tajam kepada Sultan Dhahir Baibars, hampir saja Imam Nawawi dikriminalisasi dan disiksa. Kritik Imam Nawawi ini diarahkan kepada sang penguasa karena kasus Hauthah. Inti permasalahannya, ketika Dhahir berada di Damaskus -pasca kekalahan Tatar-, ia mempercayakan kepengurusan Baitul Maal kepada orang bermadzhaf Hanafi. Berdasarkan madzhab Hanafi, harta yang dikuasai Tatar (musuh), maka otomatis harta dikuasai penguasa. Lantas Imam Nawawi dan ulama lain mengkritik pendapat tersebut. Dan kritik paling keras adalah yang disampaikan Imam Nawawi.

Sang Sultan marah dan mengira bahwa itu dilakukan Imam Nawawi karena kepentingan jabatan duniawi karena telah disingkirkan. Ternyata, beliau sama sekali tidak memiliki jabatan dan kepentingan dunia. Setelah kesalahpahaman ini berakhir, Imam Nawawi dicintai dan diagungkan oleh Sultan Dhahir Baibars. (al-Imaam al-Nawawi- Syaikh al-Muhadditsin wa al-Fuqahaa, 1995: 110, 111)

Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah juga pernah dipenjara di Kairo lalu diasingkan ke Alexandria karena perbedaan pendapat dengan ulama lain yang sezaman kala itu. Setelah bebas, ia berangkat ke Syam dan mengajar di Damaskus. Namun di sana dia kembali berbeda pendapat dalam hal persoalan sumpah dengan talak.

Karena masalah itu, dia kembali dipenjara selama lima bulan. Ia sempat bebas, tetapi setelah itu dipenjara lagi di penjara Damaskus bersama muridnya yang setia, Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Di penjara, Ibnu Taimiyah mendapatkan waktu yang banyak untuk membaca dan menulis sejumlah buku untuk kemudian dikirim ke luar penjara.

Pada akhirnya, penguasa saat itu malah meminta agar kitab, kertas, tinta dan pena yang digunakan itu dikeluarkan dari dalam penjara Ibnu Taimiyah. Pada tahun 728 H, Ibnu Taimiyah dilarang membaca. Kemudian Ibnu Taimiyah jatuh sakit dan meninggal dunia.


Sumber :

https://m.facebook.com/100016452071349/posts/961179251107135/?app=fbl