بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Jumat, 31 Maret 2023

Haram, Kerja Di Kantor Pajak Dan Bea Cukai

Tematik (131)
---------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Haram, Kerja Di Kantor Pajak Dan Bea Cukai

Bea cukai atas barang impor atau ekspor itu termasuk maks sedangkan maks adalah haram. Oleh karena itu, bekerja di bidang itu hukumnya haram meskipun pajak tersebut dibelanjakan oleh negara untuk mengadakan berbagai proyek semisal membangun berbagai fasilitas negara. Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang bahkan memberi ancaman keras untuk perbuatan mengambil maks.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Sesungguhnya pelaku/ pemungut pajak (diadzab) di neraka". [HR. Ahmad 4/109, Abu Dawud Kitab Al Imarah 7]

Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti: 

Dari Abu Khair radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: "Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata: "Sesungguhnya para penarik/ pemungut pajak (diadzab) di neraka”.[HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]

Pemungut pajak itu termasuk pelaku kezaliman karena mereka mengambil harta yang tidak berhak untuk diambil.

Allah Ta'ala berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil". (QS. An-Nisa: 29)

Dalam ayat diatas Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.

Imam Nawawi rahimahullah berkata: "Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti” (Syarah Shahih Muslim 11/202)

Tadabbur Al-Quran Hal. 281

Tadabbur Al-Quran Hal. 281
----------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

- Al Qur'an Indonesia Tajwid.

- An-Nahl ayat 126 :

وَاِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوْا بِمِثْلِ مَا عُوْقِبْتُمْ بِهٖۗ وَلَىِٕنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِّلصّٰبِرِيْنَ

Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.

- Asbabun Nuzul An-Nahl ayat 126 :

Al-Hakim, al-Baihaqi dalam ad-dalail dan alBazzar meriwayatkan dari abu hurairah bahwa Rasulullah berdiri di dekat Hamzah yang telah mati syahid dengan tubuh yang telah tercabik-cabik musuh. Beliau berkata,"sungguh aku akan mencabik-cabik 70 orang dari mereka sebagai pembalasanmu". Maka jibril turun membawa bagian akhir surat an-anhl, "dan jika kamu membalas maka balaslah dengan yang sama..." sampai akhir surat. Maka Rasulullah tidak jadi melaksanakan niatnya.

At-Tirmidzi meriwayatkan dari ubai bin ka'ab dan dinyatakan hasan oleh alhakim. Pada waktu perang uhud. 64 anshar dan 6 muhajirin gugur. Diantaranya terdapat hamzah. Jenazah mereka dicabik-cabik musuh. Orang Anshar berkata, lain kesempatan kita akan tunjukan kepada mereka bahwa kita pun dapat mencabik-cabik mayat mereka.' Lalu pada hari Fathul Makkah Allah menurunkan ayat ini. Ibnul Hashshar mengatakan bahwa pertama kali ayat ini turun di Mekah, lalu turun kedua kalinya di uhud dan turun lagi ketiga kalinya pada Fathul Makkah, sebagai peringatan Allah bagi Hamba-Nya.

- Tafsir Al Muyassar An-Nahl ayat 126 :

Jika kalian, wahai orang-orang mukmin, ingin menuntut balas terhadap orang-orang yang telah menzalimi kalian, maka janganlah membalas melebihi kezaliman mereka
terhadap kalian. Jika kalian bersabar, maka itu lebih baik bagi kalian di dunia dengan mendapatkan kemenangan,
dan di akhirat dengan mendapatkan pahala yang besar.

Selasa, 28 Maret 2023

Ihsan dan Itqan Dalam Beramal

One Day One Hadits (246)
------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Ihsan dan Itqan Dalam Beramal

عَنْ أَبِي يَعْلَى شَدَّاد ابْنِ أَوْسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ اللهَ كَتَبَ اْلإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ، فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ . [رواه مسلم]

Dari Abu Ya'la dari Syaddad bin Aus dia berkata, “Dua perkara yang selalu saya ingat dari Rasulullah, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan supaya selalu bersikap baik terhadap setiap sesuatu, oleh karena itu apabila salah seorang kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang terbaik. Dan hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan mata pisaunya dan membuat nyaman hewan sembelihannya.”

عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إن اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ

Dari Aisyah radhiAllah anha, bersabda Rasulullah : “Allah azza wa jalla menyukai jika salah seorang di antara kalian melakukan suatu amal secara itqan.”
(Hadits diriwayatkan oleh Imam At–Tabrânî, dalam al-Mujam al-Awsat, No. 897, dan Imam Baihaqi dalam Sya’bu al-Îmân, No. 5312.)

Pelajaran yang terdapat dalam hadist:

1. Imam al-Nawawi rohimahulloh memasukkan hadits pertama sebagai salah satu hadits dasar agama, berkaitan dengan kesempurnaan seluruh ajaran Islam. Yakni adanya tuntutan untuk melakukan amal dengan cara yang terbaik (ikhlas dan benar). Di antaranya adalah dengan memperhitungkan hal-hal yang dapat menyempurnakan amal tersebut, yang tercermin dari arahan Nabi untuk memastikan ketajaman pisau sebelum menyembelih.

2. Secara praktis, ihsan dapat dimaknai sebagai sikap melakukan suatu amal dengan memperhatikan hal-hal yang dapat menyempurnakannya, sedangkan itqan  bermakna  melakukan amal secara efektif dan efisien, sehingga dapat terselesaikan secara optimal, dari segi proses dan waktu.

3. Pada kedua hadits ini tercakup dua konsep dasar melakukan amal dalam Islam, yaitu ihsan dan itqan. Paduan keduanya melahirkan profesionalitas yang menopang kesuksesan di dunia dan akhirat.

4. Di antara bentuk amal yang ihsan dan itqan, dapat diekstrak dari Al-Quran dan hadits sebagai berikut:
Dikerjakan dengan perhitungan
Terdapat pesan penting dalam pelaksanaan sebuah amal dalam perintah Rasulullah dalam melakukan penyembelihan, yaitu dengan memastikan ketajaman pisau. Yakni, sebelum melakukan amal, perhitungkan dengan matang persiapannya, termasuk mengantisipasi kendala yang bisa muncul dalam proses pengerjaan amalan tersebut. Hal ini agar tidak menimbulkan kerusakan, kegagalan, bahkan bisa sampai menyakiti pihak lain. 

Tema hadist yang berkaitan dengan Al-Quran:

1. Ihsan, amalan yang dilakukan dengan yang terbaik (ikhlas dan benar)

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,
[Surat Al-Mulk : 2]

2. Itqan artinya kokoh (bermakna menyempurnakan atau mengerjakan dengan sempurna)

وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ ۚ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ ۚ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ

Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
[Surat An-Naml : 88)

3. Di antara bentuk amal yang ihsan dan itqan  adalah amal tersebut diupayakan agar selesai.

 فَإِذَا فَرَغۡتَ فَٱنصَبۡ 

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, (Ash-Sharh:7)

4. Fokus untuk tidak tergesa-gesa untuk pindah ke hal lainnya sebelum sempurna

وَلَا تَعۡجَلۡ بِٱلۡقُرۡءَانِ مِن قَبۡلِ أَن  يُقۡضَىٰٓ إِلَيۡكَ وَحۡيُهُۥۖ وَقُل رَّبِّ زِدۡنِي عِلۡمٗا  

“…dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Alquran sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (QS: Thoha :114)

Tadabbur Al-Quran Hal. 280

Tadabbur Al-Quran Hal. 280
----------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

- Al Qur'an Indonesia Tajwid.

- An-Nahl ayat 114 :

فَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاشْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.

- Tafsir Al Muyassar An-Nahl ayat 114 :

Maka makanlah, wahai orang-orang mukmin, dari rizki yang Allah berikan kepada kalian, dan Dia menjadikannya
halal lagi baik bagi kalian. Syukurilah nikmat Allah yang diberikan kepada kalian dengan mengakuinya dan membelanjakannya dalam ketaatan kepada Allah.

Jika kalian benar-benar mematuhi perintah Allah, mendengarkan lagi menaati- Nya, maka sembahlah Dia
semata yang tiada sekutu bagi-Nya.

- Mu'jam An-Nahl ayat 114 :

Razaqa Ar-Rizqu distilahkan bagi suatu pemberian yang mengalir, apakah berupa keduniaan atau keakhiratan. Terkadang disebut juga bagi suatu bagian, dan terkadang
bagi suatu didikan, misalnya, penguasa telah memberikan rezeki kapada bala tentaranya, dan aku diberi rezeki berupa ilmu.
Firman Allah, Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu... (Q5 Al-Munäfiqun, 63: 10). yaitu berupa harta dan ilmu. Firman Allah, Dan kamu menjadikan rezeki yang kamu terima (dari Allah) justru
untuk mendustakan(-Nya). (QS AI-Wãqi'ah, 56: 82) (Ar-Ragib Al-Asfahani, Mujam Mufradati Alfazi Al-Quräni, 1431 H/2010 M: 147).

Minggu, 26 Maret 2023

SHALAWAT PARA MALAIKAT BAGI ORANG YANG DUDUK DI MASJID SETELAH MELAKSANAKAN SHALAT

Tematik (130)
---------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

SHALAWAT PARA MALAIKAT BAGI ORANG YANG DUDUK DI MASJID SETELAH MELAKSANAKAN SHALAT

Di antara orang-orang yang berbahagia dengan shalawat para Malaikat kepada mereka adalah orang-orang yang tetap duduk di masjid setelah melaksanakan shalat.

Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:

Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

اَلْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِيْ مُصَلاَّهُ الَّذِي صَلَّى فِيْهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اَللَّهُمَّ ارْحَمْهُ.

Para Malaikat akan selalu bershalawat kepada salah seorang di antara kalian selama ia berada di masjid dimana ia melakukan shalat, hal ini selama ia wudhu’nya belum batal [1], (para Malaikat) berkata: ‘Ya Allah, ampunilah ia, ya Allah, sayangilah ia.’”[2]

Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan pula dari Abu ‘Abdirrahman, ia berkata: “Aku mendengar ‘Ali berkata: ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا جَلَسَ فِيْ مُصَلاَّهُ بَعْدَ الصَّلاَةِ صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلاَئِكَةُ، وَصَلاَتُهُمْ عَلَيْهِ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اَللَّهُمَّ ارْحَمْهُ. وَإِنْ جَلَسَ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلاَئِكَةُ وَصَلاَتُهُمْ عَلَيْهِ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اَللَّهُمَّ ارْحَمْهُ.

‘Sesungguhnya jika seorang hamba duduk di masjid setelah melaksanakan shalat, maka para Malaikat akan bershalawat untuknya, dan shalawat mereka kepadanya adalah dengan berkata: ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah, sayangilah ia.’ Jika ia duduk untuk menunggu shalat, maka para Malaikat akan bershalawat kepadanya, shalawat mereka kepadanya adalah dengan berdo’a: ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah, sayangilah ia.’” [3]

Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Atha’ bin as-Sa-ib, ia berkata: “Aku mendatangi ‘Abdurrahman as-Sulami, pada waktu itu beliau telah melakukan shalat Fajar dan sedang duduk di dalam majelis, aku berkata kepadanya: ‘Seandainya engkau pergi ke tempat tidur, tentu hal tersebut akan lebih baik bagimu.’ Beliau berkata: ‘Aku mendengar ‘Ali berkata: ‘Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ جَلَسَ فِيْ مُصَلاَّهُ صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلاَئِكَةُ وَصَلاَتُهُمْ عَلَيْهِ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اَللَّهُمَّ ارْحَمْهُ، وَمَنْ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ صَلَّتْ عَلَيْهِ الْمَلاَئِكَةُ وَصَلاَتُهُمْ عَلَيْهِ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اَللَّهُمَّ ارْحَمْهُ.

“Barangsiapa yang melakukan shalat Fajar, lalu ia duduk di masjid, maka para Malaikat akan bershalawat kepadanya, dan shalawat mereka kepadanya adalah dengan berdo’a: ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah, sayangilah ia.’ Dan jika ia duduk untuk menunggu shalat, maka para Malaikat akan bershalawat kepadanya, shalawat mereka kepadanya adalah dengan berdo’a: ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah, sayangilah ia.’” [4]

Syaikh Ahmad ‘Abdurrahman al-Banna memberikan bab pada hadits di atas dengan judul: “Bab Keutamaan Duduknya Orang yang Telah Melaksanakan Shalat di Masjid.” [5]

Beliau rahimahullah menta’liq (memberikan komentar) terhadap apa-apa yang berhubungan dengan bab ini, beliau berkata: “Hadits dalam bab ini menunjukkan bahwa orang yang telah melaksanakan shalat dianjurkan untuk duduk di tempat shalatnya untuk menunggu shalat yang berikutnya. Hal itu jika ia tidak sibuk dengan urusan dunia yang sangat diperlukan atau melaksanakan sebagian dzikir, karena para Malaikat mendo’akannya agar mendapatkan ampunan dan rahmat selama ia berada pada tempat shalatnya selama wudhu’nya belum batal, sebagaimana diterangkan di dalam hadits-hadits lainnya.” [6]

Lalu beliau mengisyaratkan sebuah pertanyaan dan dijawab oleh beliau sendiri. Beliau berkata: “Jika ada yang bertanya: ‘Apakah hal ini umum untuk semua shalat atau khusus untuk shalat Shubuh saja seperti yang tampak di dalam hadits?’ Maka menurutku hal ini umum pada setiap shalat dengan dalil semua hadits yang telah kami sebutkan dengan redaksi yang umum untuk semua shalat. Sedangkan menyebutkan waktu Shubuh dan ‘Isya’ hanyalah sebuah penekanan agar diperhatikan, ini adalah sebuah ungkapan umum setelah ungkapan khusus sebagaimana yang terungkap di dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

‘Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat Wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.’ [Al-Baqarah: 238]

Wallaahu a’lam.” [7]

Kesimpulannya, bahwa di antara orang yang dido’akan oleh para Malaikat adalah orang-orang yang tetap duduk di masjid selama wudhu’nya tidak batal.

Semoga Allah menjadikan kita semua termasuk dari golongan mereka dengan keutamaan-Nya. Aamiin yaa Dzal Jalaali wal Ikraam.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa tetap duduk di masjid setelah shalat adalah termasuk amal-amal yang menjadi bahan pembicaraan di kalangan para Malaikat, tegasnya mereka semua ingin membawa amalan tersebut ke langit, dan hal ini merupakan amal-amal yang dapat menghapuskan dosa. Barangsiapa yang melakukannya, niscaya ia akan hidup dengan baik dan wafat dengan baik, ia akan dibersihkan dari kesalahan bagaikan seorang anak yang baru dilahirkan oleh ibunya.

Al-Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ahuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَتَانِي اللَّيْلَةَ رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى فِي أَحْسَنِ صُوْرَةٍ قَالَ: أَحْسَبُهُ، قَالَ: فِي الْمَنَامِ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ هَلْ تَدْرِي فِيْمَ يَخْتَصِمُ الْمَلأُ اْلأَعْلَى؟ قَالَ: قُلْتُ: لاَ، قَالَ: فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ كَتِفَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا بَيْنَ ثَدْيَيَّ، أَوْ قَالَ: فِي نَحْرِي، فَعَلِمْتُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ، قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، هَلْ تَدْرِي فِيْمَ يَخْتَصِمُ الْمَلأُ اْلأَعْلَى، قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ فِي الْكَفاَّرَاتِ وَالْكَفَّارَاتُ الْمَكْثُ فِي الْمَسَاجِدِ بَعْدَ الصَّلَوَاتِ وَالْمَشْيُ عَلَى اْلأَقْدَامِ إِلَى الْجَمَاعَاتِ وَإِسْبَاغُ الْوُضُوْءِ فِي الْمَكَارِهِ وَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَاشَ بِخَيْرٍ وَمَاتَ بِخَيْرٍ وَكَانَ مِنْ خَطِيْئَتِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ.”

‘Malam tadi Rabb-ku datang kepadaku dalam bentuk yang paling indah, aku menyangkan bahwa itu terjadi di dalam mimpi. Kemudian Dia berfirman kepadaku, ‘Wahai Muhammad, apakah engkau tahu apa yang menjadi bahan pembicaraan para Malaikat [8]?’ Aku menjawab, ‘Aku tidak tahu.’ Lalu Allah meletakkan tangan-Nya di antara kedua pundakku, sehingga aku merasakan dingin di dada atau di dekat tenggorokan, maka aku tahu apa yang ada di langit dan bumi. Allah berfirman, ‘Wahai Muhammad, tahukah engkau apa yang menjadi bahan pembicaraan para Malaikat?’ Aku menjawab, ‘Ya, aku tahu. Mereka membicarakan al-kafarat.’ Al-kafarat itu adalah berdiam di masjid setelah shalat, melangkahkan kaki menuju shalat berjama’ah, dan menyempurnakan wudhu’ dalam keadaan yang sangat dingin. Barangsiapa yang melakukannya, maka ia akan hidup dengan baik dan wafat dengan baik pula, ia akan keluar dari dosa-dosanya seperti pada hari di mana ia dilahirkan dari (rahim) ibunya.” [9]

Allaahu Akbar! Sungguh sangat agung pahala orang-orang yang melakukan tiga amalan seperti itu. Ya Allah, jadikanlah kami orang-orang yang menjaga amalan ini, aamiin yaa Rabbal ‘aalamiin.

Pantas kiranya jika kita mengungkapkan dua pertanyaan tentang tetap duduk di masjid setelah shalat dengan berusaha untuk menjawab masing-masing pertanyaan tersebut -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala- yaitu:

Pertama: Apakah untuk mendapatkan shalawat dari para Malaikat disyaratkan untuk berdiam di masjid, tempat ia melaksanakan shalat, atau ia mendapatkannya walaupun ia pindah ke masjid yang lainnya?

Untuk menjawab pertanyaan ini saya akan membawakan apa yang diungkapkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-‘Allamah al-‘Aini ketika mereka berdua menjelaskan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلِ الْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّّى عَلَيْهِ مَا دَامَ فِيْ مُصَلاَّهُ.

“Maka jika seseorang melaksanakan shalat, senantiasa para Malaikat bershalawat kepadanya selama ia berada di masjid.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Makna dari mushalla adalah sebuah tempat yang biasa digunakan untuk shalat dalam bentuk sebuah masjid. Dan aku mengira bahwa redaksi ini melihat kepada suatu kebiasaan, artinya seandainya seseorang pindah ke masjid lain dan terus dengan niatnya semula untuk menunggu shalat, maka ia tetap mendapatkan pahala yang dijanjikan baginya.” [10]

Al-‘Allamah al-‘Aini berkata: “Kata مُصَلاَّهُ -dengan mim yang didhammahkan- adalah sebuah tempat yang digunakan untuk melaksanakan shalat. Aku mengira redaksi ini melihat kepada suatu kebiasaan. Artinya, seandainya seseorang pindah ke masjid lain dan terus dengan niatnya semula untuk menunggu shalat, maka ia tetap mendapatkan pahala yang dijanjikan untuknya.”[11]

Kedua: Apakah para wanita yang biasa duduk di tempat shalatnya di rumah mendapatkan pahala yang ditetapkan bagi kaum lelaki yang duduk di masjid, yaitu shalawat dari para Malaikat?

Saya jawab: Diharapkan -dengan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala- bahwa mereka juga mendapatkan pahala yang telah ditetapkan, karena mereka semua tidak diwajibkan untuk datang ke masjid, bahkan shalat di rumah mereka lebih utama daripada shalat di masjid. Oleh karena itu, duduk di tempat shalat mereka di rumah tentu akan lebih baik daripada duduk di masjid. Wallaahu Ta’aalaa a’lamu bish shawaab.

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz rahimahullah telah menjawab pertanyaan yang sama dengan pertanyaan tersebut:
Pertanyaan: Apakah berdiam di rumah setelah shalat Shubuh untuk membaca al-Qur-an sampai matahari terbit, lalu ia melaksanakan shalat sunnah Syuruq dua rakaat sama pahalanya dengan berdiam di masjid?

Jawaban: Ini adalah sebuah amalan yang sangat agung dan memiliki pahala yang sangat banyak. Akan tetapi, zhahir hadits yang menyebutkan hal tersebut mengandung makna bahwa pahalanya tidak akan didapatkan kecuali oleh orang yang melakukannya di dalam masjid.

Akan tetapi jika seseorang melakukan shalat Shubuh di rumahnya karena sakit atau karena takut, lalu ia duduk di tempat shalatnya untuk berdzikir kepada Allah dan membaca al-Qur-an sampai matahari terbit, setelah itu ia melaksanakan shalat sunnah Syuruq dua rakaat, maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana yang diterangkan dalam hadits. Karena dalam keadaan tersebut ia memiliki udzur sehingga melaksanakan shalat di rumah.

Demikian pula yang dilakukan oleh seorang wanita yang duduk di tempat shalatnya setelah melaksanakan shalat Shubuh untuk berdzikir dan membaca al-Qur-an sampai matahari terbit, lalu ia melaksanakan shalat sunnah dua rakaat, maka sesungguhnya ia akan mendapatkan pahala yang sama seba-gaimana yang diungkapkan dalam hadits tentangnya.

[Disalin dari buku Man Tushallii ‘alaihimul Malaa-ikatu wa Man Tal‘anuhum, Penulis Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi, Judul dalam Bahasa Indonesia: Orang-Orang Yang Di Do’aka Malaikat, Penerjemah Beni Sarbeni, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]

Footnote
[1]. مَا لَمْ يُحْذِثْ maknanya, selama wudhu’nya belum batal. (Mir-qaatul Mafaatiih II/408).
[2]. Al-Musnad (XVI/32 no. 8106). Syaikh Ahmad Syakir berkata, “Ini adalah hadits yang shahih.” (Catatan pinggir ki-tab al-Musnad XVI/32).
[3]. Al-Musnad (II/292 no. 1218). Syaikh Ahmad Syakir menghasankan sanadnya, lihat catatan pinggir kitab al-Musnad (XVI/32).
[4]. Al-Musnad (II/305-306 no. 1250). Syaikh Ahmad Syakir menghasankan sanadnya, lihat catatan pinggir kitab al-Musnad (II/305). Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan kawan-kawannya berkata, “Hadits ini hasan li ghairihi. Di dalam pembahasan ini ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari (no. 659) dan Imam Muslim (no. 649) dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dengan redaksi:

الْمَلاَئِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِيْ مُصَلاَّهُ الَّذِي صَلَّى فِيْهِ مَا لَمْ يُحْدِثْ تَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ اَللَّهُمَّ ارْحَمْهُ.

“Para Malaikat akan selalu bershalawat kepada salah seorang di antara kalian selama ia tetap berada di dalam masjid, selama wudhu’nya belum batal. Dan para Malaikat mengucapkan: ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah, sayangilah ia.’” (Catatan pinggir kitab al-Musnad II/407-408, cet. Mu-assasah ar-Risalah).

Syaikh Ahmad ‘Abdurrahman al-Banna berkata: “Hadits tentang bab ini memiliki banyak sekali penguat yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Bukhari dan Muslim.” (Buluughul Amaani IV/53)
[5]. Al-Fat-hur Rabbani fii Tartiib Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal (IV/ 52).
[6]. Buluughul Amaani (IV/53).
[7]. Buluughul Aamani (IV/53).
[8]. Maknanya, para Malaikat yang dekat, mereka adalah para tokoh dari kalangan Malaikat yang memenuhi majelis-majelis sebagai sebuah pengagungan, mereka disifati dengan al-A’la karena tempat mereka yang tinggi atau karena kedudukan mereka di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat kitab Tuhfatul Ahwaadzi IV/173)
[9]. Jaami’ at-Tirmidzi bab Tafsiir al-Qur-aan ‘an Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam surat Shaad (IV/173-174 no. 3233 dengan diringkas). Syaikh al-Albani berkata: “Hadits ini shahih.” (Shahiih Sunan at-Tirmidzi II/ 98 dan Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib I/194)
[10]. Fat-hul Baari (II/136).
[11]. ‘Umdatul Qaari’ (V/ 167).

Sabtu, 25 Maret 2023

Perihal Puasa Sunah Pada Tanggal 1-9 Zulhijah

One Day One Hadits (245)
------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Perihal Puasa Sunah Pada Tanggal 1-9 Zulhijah

عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ 

Dari Hunaidah ibn Khalid, dari istrinya, dari salah seorang istri Nabi SAW (diriwayatkan bahwa) ia berkata: .“Rasulullah SAW biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya, dan hari Senin dan Kamis pertama setiap bulan. ” (HR Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Tema hadist yang berkaitan dengan al quran :

1. Mengutip kitab Latho-if Al Ma’arif menyebut di antara sahabat yang mempraktikkan puasa selama sembilan hari awal Zulhijah adalah Ibnu ‘Umar . Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri , Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama.

2. Inti dari penjelasan ini, boleh berpuasa penuh selama sembilan hari bulan Zulhijah (dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijah) atau berpuasa pada sebagian harinya saja. Bisa diniatkan dengan puasa Daud atau bebas pada hari yang mana saja, namun jangan sampai ditinggalkan puasa Arafah. Karena puasa Arafah akan menghapuskan dosa selama dua tahun. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qatadah, Nabi SAW bersabda,

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ

“Puasa Arafah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR Muslim no. 1162).

3. Cara melakukan puasa awal dzulhijjah.
a. Boleh lakukan dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah, lebih utama lagi puasa Arafah (9 Dzulhijjah).

b. Boleh lakukan dengan memilih hari yang diinginkan, yang penting jangan tinggalkan puasa Arafah.

Tema hadist yang berkaitan dengan al quran :

1. Puasa mengandung hikmah menyucikan tubuh dan mempersempit jalan-jalan setan.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (Al-Baqarah: 183)

2. Puasa Amalan yang bisa menghapus dosa dan mendatangkan pahala yang besar

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا 

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut(nama) Allah, Allah telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar untuk mereka.[Al-Ahzab: 35]

Jumat, 24 Maret 2023

Syarah Aqidatul Awam (18)

Syarah Aqidatul Awam (18)
------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bait 18

شُعَيْبُ هَارُوْنُ وَمُوْسَى وَالْيَسَعْ (18) ذُو الْكِـفْلِ دَاوُدُ سُلَيْمَانُ اتَّـبَعْ

Syuaib, Harun, Musa dan Alyasa', Dzulkifli, Dawud, Sulaiman yang diikuti

Syarah :

13.  Nabi Syuaib dikatakan sebagai anak keturunan Madyan bin Ibrahim, dan dikatakan pula bahwa beliau bukan dari keturunan Nabi Ibrahim. Sesungguhnya beliau adalah anak keturunan dari orang-orang yang beriman pada Nabi Ibrahim `alaihissalam dan ikut hijrah dengan Nabi Ibrahim ke negeri Syam. Tetap beliau (Nabi Syuaib) anak dari anak perempuan Nabi Luth (cucu perempuan Nabi Luth dari puteranya). Allah Ta'ala mengutusnya ke penduduk madyan dan mereka adalah penduduk yang mengkufuri Allah dan jelek dalam bermuamalah dengan orang lain yaitu mereka mengurangi timbangan dan ukuran sesuatu dan mereka merusak (dalam mentasarufkan) harta mereka. Tatkala mereka mendustakan Nabi Syuaib, maka Allah membinasakan mereka. Sehingga daerah mereka ditimpa kelaparan karena ulah mereka, seakan-akan mereka tidak dapat mendiaminya dan mereka tidak dapat hidup didalamnya. Allah Ta'ala berfrman,

فَأَخَذَتْهُمُ الرَّجْفَةُ فَأَصْبَحُوا فِي دَارِهِمْ جَاثِمِينَ (91) الَّذِينَ كَذَّبُوا شُعَيْبًا كَأَنْ لَمْ يَغْنَوْا فِيهَا الَّذِينَ كَذَّبُوا شُعَيْبًا كَانُوا هُمُ الْخَاسِرِينَ (92)

"Kemudian mereka ditimpa gempa, maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah- rumah mereka, yaitu orang-orang yang mendustakan Nabi Syuaib, mereka itulah orang-orang yang merugi"(QS.Al-A'raf 91-92).

Kemudian Allah mengutusnya ke penduduk Aikah dekat dari daerah Madyan. Tatkala mereka mendustakan Nabi Syuaib, maka Allah menimpakan adzab pada mereka pada hari dinaungi awan yaitu Allah menimpakan pada mereka rasa panas selama 7 hari, sehingga air-air mereka kekeringan, kemudian awan itu minggiring mereka. Kemudian mereka berlindung dibawah awan karena rasa panas sekali. Setelah itu awan itu menurunkan hujan api sehingga api itu membakar mereka dan membinasakannya. Dan hari itu disebut dengan Yaumud dzullah. Allah Ta'ala berfirman,

فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ ۚ إِنَّهُ كَانَ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (189)

"Kemudian mereka mendustakan Syuaib, lalu mereka ditimpa adzab pada hari mereka dinaungi awan, sesungguhnya adzab itu adalah adzab hari yang besar"(QS. Asy syu'araa : 189).

14.  Nabi Harun bin Imran bin Qoohit bin Laway bin Ya'qub.

15.  Nabi Musa Kalimullah adalah saudara kandung Nabi Harun, Allah mengutusnya supaya memberi petunjuk pada Fir'aun dan kaumnya.

16.  Nabi Ilyasa' bin Akhtub bin 'Ajuuz terrnasuk para Nabi dari kalangan Bani Israil.

17.  Nabi Dzulkifli bin Ayyub, namanya yang asli adalah Basyar. Allah mengutusnya menjadi seorang Nabi setelah bapaknya dan memberi nama Dzulkifli.

18.  Nabi Daud, nasabnya bersambung dengan Yahudza dan Ya'qub bin Ishaq bin Ibrahim, Allah menjadikannya raja di kalangan Bani Israil.

19.  Nabi Sulaiman bin Daud, Allah menjadikannya raja dikalangan Bani Israil setelah bapaknya Nabi Daud.

Tadabbur Al-Quran Hal. 279

Tadabbur Al-Quran Hal. 279
----------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

- Al Qur'an Indonesia Tajwid.

- An-Nahl ayat 103 :

وَلَقَدْ نَعْلَمُ اَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ اِنَّمَا يُعَلِّمُهٗ بَشَرٌۗ لِسَانُ الَّذِيْ يُلْحِدُوْنَ اِلَيْهِ اَعْجَمِيٌّ وَّهٰذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُّبِيْنٌ

Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya Al-Qur'an itu hanya diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa Muhammad belajar) kepadanya adalah bahasa ‘Ajam, padahal ini (Al-Qur'an) adalah dalam bahasa Arab yang jelas.

- Asbabun Nuzul An-Nahl ayat 103 :

Ibnu jarir meriwayatkan dengan sanad yang lemah dari ibnu abbas bahwa Rasulullah dahulu mengenal biduan di Mekah bernama Bal'am, seorang yang berbahasa asing. Orang-orang musyrik melihat Rasulullah keluar-masuk rumahnya, maka mereka berkata, "dia diajari oleh Bal'am. Maka allah menurunkan ayat ini.

Ibnu abi Hatim meriwayatkan dari jalur hashin dari Abdullah bin Muslim alhadhrami. Dahulu kami punya dua budak, bernama Yasar dan Jabr, keduanya dari sasilia. Mereka membaca kitab dan mengajarkan isinya. Rasulullah kadang lewat di dekat mereka dan mendengar bacaan mereka. Maka turunlah ayat ini.

- Tafsir Al Muyassar An-Nahl ayat 103 :

Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa orang-orang musyrik berkata: Sesungguhnya Nabi mengambil al-Qur'an itu dari seorang manusia keturunan Adam. Mereka berdusta; karena Bahasa orang yang mereka nisbatkan bahwa ia telah mengajarkan kepada Nabi adalah Bahasa Ajam (selain Arab), sedang al-Qur'an adalah dalam Bahasa Arab yang sangat terang.

- Tadabbur Surah An-Nahl Ayat 103-110.

Ayat 103-110 menjelaskan beberapa hal berikut: 

Allah mengetahui orang-orang kafir yang menuduh Rasul Saw. belajar wahyu dari manusia, yakni seorang anak yang berjualan di bukit Shafa. Padahal anak tersebut tidak paham banyak tentang bahasa Arab. Sedangkan Al-Qur’an itu bahasa Arab fasih.

Orang yang tidak percaya kepada Allah, tidak akan diberi-Nya hidayah dan akan diberikan azab yang berat di akhirat kelak.

Orang yang menuduh kebohongan Al-Qur‘an adalah orang yang tidak percaya kepada Allah. Mereka adalah para pembohong.

Siapa yang kafir setelah beriman kepada Allah, maka orang tersebut mendapat murka Allah dan akan mendapatkan azab yang besar di akhirat. Kecuali terpaksa demi menyelamatkan nyawanya atau nyawa orang tuanya sedangkan hatinya tenang dengan keimanan, seperti yang terjadi pada sahabat Ammar Bin Yasir.

Orang-orang yang kafir lagi setelah beriman (murtad),motifnya biasanya kepentingan dunia karena lebih mencintai kehidupan dunia ketimbang kehidupan akhirat yang masih jauh. Allah tidak akan memberikan hidayah kepada kaum kafir seperti itu.

Orang-orang kafir seperti pada poin 5, akan dikunci mati hati, pendengaran dan penglihatan mereka oleh Allah sehingga mereka menjadi manusia lalai dan tidak bisa mengingat Allah. Di akhirat kelak mereka pasti  akan menjadi penghuni neraka.

Bagi kaum Muslimin yang tertindas di Mekkah yang tidak memiliki kemampuan melawan orang-orang yang menindas mereka kemudian mereka mendapat kesempatan hijrah kemudian mereka ikut berjihad di jalan Allah serta sabar dalam menjalankan ajaran Islam dengan berbagai risiko yang dihadapi, maka bagi mereka ampunan dan kasih sayang Allah.

Bab Thaharah (Bersuci) - Niat

Asbabul Wurud (02)
-------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bab Thaharah (Bersuci) - Niat

Sesungguhnya Setiap Amal Perbuatan Tergantung pada Niatnya

- Hadits: dikeluarkan oleh enam orang Imam, dari Umar bin al-Khaththab ra dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

'Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya bagi setiap seorang adalah apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya untuk dunia yang akan dia peroleh atau wanita yang dia nikahi, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia hijrah karenanya.'

- Sababul Wurud Hadits Ke-1:

Az-Zubair bin Bakar mengatakan dalam Akhbar al-Madinah: "Muhammad bin al-Hasan meriwayatkan kepadaku dari Muhammad bin Thalhah bin 'Abdurrahman dari Musa bin Muhammad bin Ibrahim bin al-Harits dari ayahnya, dia mengatakan: 'Ketika Rasulullah saw datang di Madinah para shahabatnya (sedang sakit) di sana. Dan datanglah (seorang laki-laki) [1] dan menikahi seorang perempuan yang telah berhijrah. Kemudian Rasulullah saw duduk di atas mimbar dan berkata, 'Wahai manusia, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya,' (beliau mengatakannya) tiga kali. 'Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dia cari atau perempuan yang dia akan pinang, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia berhijrah kepadanya.' Kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berkata, 'Ya Allah, pindahkanlah wabah ini dari kami.' Tiga kali. Maka ketika pagi hari beliau berkata, "Malam tadi aku didatangi oleh demam. Dia berupa seorang tua yang hitam dengan membawa lubab di kedua tangannya. Maka dia berkata, ini adalah (demam). Lalu apa pendapatmu?' Aku pun berkata, 'Bawalah ia ke Khim.'"

- Tahqiq Hadits Ke-1:

Lafazh Abu Dawud, kitab: ath-Thalaq, bab: Fi ma 'Ana bihi ath-Thalaq wa an-Niyat (Tentang Seseorang yang Berniat Thalak dan Niat-niat Lainnya);

Dikeluarkan oleh al-Bukhari, Kaifa Kana Bada'aal-Wahyu (Bagaimanakah Dahulu Wahyu Mulai, (1/2)), Kitab an-Nikah, Bab: Man Hajara au 'Amila Khairan Litazwiji Imra'atan falahu Ma Nawa fi al-Aiman wa Ghairiha (Barangsiapa Berhijrah atau Berbuat Baik untuk Bisa Menikah dengan Seorang Perempuan maka Baginya Apa yang Diniatkannya), (4/7); al-Hil, bab: FiTarkil Hil wa anna Likulli ilmri'in ma Nawa (Meninggalkan Hil, dan Sesungguhnya bagi Setiap Orang Adalah Apa yang Diniatkannya dalam Sumpah dan Lainnya, (9/29));

Muslim, kitab al-Imarah, bab: Innamal A'malu bi an-Niyyat (Sesungguhnya Amalan Itu Tergantung Niatnya, (4/572));

An-Nasa'i, kitab: ath-Thoharah, bab: an-Myyah ft al-Wudhu' (Niat dalam Wudhu, (1/51)), kitab: ath-Thalaq, bab: Al-Kalam Idza Qashodo bihi Fima Yahtamilu Ma'nahu (Perkataan Apabila Dimaksudkan pada Kandungan dari Maknanya, (6/129));

Ibnu Majah, Kitab az-Zuhdu, bab: an-Niyyah (Niat, (2/1413)) dengan lafazh-lafazh yang hampir serupa.

Anda dapat melihat bahwa hadits beserta sebabnya yang telah disebutkan, keduanya tidak mempunyai kaitan dengan bab ini. Meskipun mungkin juga memberikan apologi untuk as-Suyuthi mengenai hal tersebut, bahwa maksudnya adalah membuka bukunya dengan apa yang al-Bukhari telah membuka kitabnya dengan itu, atau mungkin saja as-Suyuthibermaksud dengan hadits ini adalah thaharah batin sebelum dia membicarakan mengenai thaharah lahir.

- Keterangan Sababul Wurud Hadits Ke-1:

Az-Zubair bin Bakar, lihat tentang profilnya. Hadits ini lemah. Pada sanadnya terdapat Muhammad bin Thalhah bin 'Abdurrahman yang sering keliru, dan Musa bin Muhammad, hadits darinya diingkari. Akan tetapi saya merasakan konteks dari hadits di atas adalah mencela orang yang melakukan hal tersebut yaitu orang yang mencari perempuan dengan gambar hijrah murni. Sementara orang yang mencarinya dalam kandungan hijrah, maka sesungguhnya dia mendapat pahala atas niat hijrah akan tetapi tidak mendapat pahala orang yang ikhlas.

Demikian pula orang yang mencari pernikahan saja tanpa 'gambar' hijrah kepada Allah. Karena hal tersebut termasuk dari perkara mubah yang terkadang pelakunya mendapatkan pahala apabila dimaksudkan sebagai taqarrub seperti untuk menjaga iffah. Sebagai contoh dari hal tersebut adalah apa yang terjadi dalam kisah Abu Thalhah yang telah diriwayatkan oleh an-Nasa'i dari Anas, dia mengatakan: "Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim, dan maskawin di antara keduanya adalah Islam. Ummu Sulaim telah memeluk Islam sebelum Abu Thalhah, yang kemudian Abu Thalhah meminangnya, maka dia berkata, 'Sesungguhnya aku telah memeluk Islam. Apabila engkau telah memeluk Islam, aku akan menikahimu.'" Maka Abu Thalhah masuk Islam dan Ummu Sulaim pun menikah dengannya. Hal tersebut menyiratkan bahwa dia senang dengan Islam dan hendak memeluknya dari segi Abu Thalah dan hal tersebut termasuk juga keinginannya menikah yang merupakan hal mubah. Maka hal ini hampir sama dengan orang yang berniat puasa sekaligus untuk menjaga diri. Atau thawaf sebagai ibadah sekaligus kewajiban hutangnya.

Sementara ulama lain berpendapat berkaitan dengan masalah pahala: "Apabila niatnya didominasi oleh keduniaan, maka dia tidak mendapatkan pahala, tetapi apabila keagamaan yang lebih dominan maka dia mendapatkan pahala yang sesuai. Namun apabila niat di antara keduanya sama, maka tidak mendapatkan pahala. Sedangkan apabila diniatkan sebagai ibadah, dan tercampur dengan sesuatu yang mengubah keikhlasan maka Abu Ja'far ath-Thabari menukil dari jumhur salaf bahwa yang dinilai adalah permulaannya. Maka apabila permulaannya adalah tulus untuk Allah, maka apa-apa yang terjadi padanya setelah itu tidak berbahaya baginya." Fathu al-Bari (1/16), cet. Al-Ahram, tahqiq: as-Sayid Shaqar.

- At-Talbib: tempat diletakkannya syal pada baju. Dikatakan: seorang laki-laki bersyal atau menggunakan syal, yaitu apabila dia meletakkan di lehernya pakaian atau hal lainnya, dan kemudian berselimut dengannya. Al-Fa iq fi Gharib al-Hadits, Zamakhsyari (4/44).

- Khim: suatu tempat antara Makkah dan Madinah, yang di Sana terdapat mata air yang disebut Ghadir Khim, Nihayah (1/322). Ibnu Hajar mengatakan bahwa sebab dari hadits ini adalah kisah Muhajir Qais dan kita tidak mengetahui mengapa disebut demikian (1/16).

___________________

Yang terkenal dengan sebutan Muhajir Ummu Qais dan tidak diketahui namanya. Sedangkan perempuan tersebut konon kabarnya bernama Qatilah, dan ada yang mengatakan bukan itu.

Kamis, 23 Maret 2023

HIDAYAH ITU MAHAL

Tematik (129)
---------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

HIDAYAH ITU MAHAL

Pernahkah terpikirkan bahwa kita tengah berada dalam anugerah yang tiada ternilai dari Dzat yang memiliki kerajaan langit dan bumi, sementara begitu banyak orang yang dihalangi untuk memperolehnya?

Kita bisa tahu ajaran yang benar dari agama Islam ini. Tahu ini haq, itu batil… Ini tauhid, itu syirik…. Ini sunnah, itu bid’ah… Lalu kita dimudahkan untuk mengikuti yang haq dan meninggalkan yang batil. Sementara, banyak orang tidak mengerti mana yang benar dan mana yang sesat, atau ada yang tahu tapi tidak dimudahkan baginya untuk mengamalkan al-haq, malah ia gampang berbuat kebatilan.

Kita dapat berjalan mantap di bawah cahaya yang terang-benderang, sementara banyak orang yang tertatih meraba dalam kegelapan.

Kita tahu apa tujuan hidup kita dan kemana kita kan menuju. Sementara, ada orang-orang yang tidak tahu untuk apa sebenarnya mereka hidup. Bahkan kebanyakan mereka menganggap mereka hidup hanya untuk dunia, sekadar makan, minum, dan bersenang-senang di dalamnya.

Apa namanya semua yang kita miliki ini, wahai saudariku, kalau bukan anugerah terbesar, nikmat yang tiada ternilai? Inilah hidayah dan taufik dari Allah  kepada jalan-Nya yang lurus.

Dalam Tanzil-Nya, Allah  berfirman:

Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Al-Baqarah: 213)

Fadhilatusy Syaikh Al-’Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin  menerangkan dalam tafsirnya bahwa hidayah di sini maknanya adalah petunjuk dan taufik. Allah  berikan hidayah ini kepada orang yang pantas mendapatkannya, karena segala sesuatu yang dikaitkan dengan kehendak Allah  maka mesti mengikuti hikmah-Nya. Siapa yang beroleh hidayah maka memang ia pantas mendapatkannya. (Tafsir Al-Qur’anil Karim, 3/31)

Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan ayat :
beliau berkata, Allah tidak meletakkan hidayah di dalam hati kecuali kepada orang yang pantas mendapatkannya. Adapun orang yang tidak pantas memperolehnya, maka Allah  mengharamkannya beroleh hidayah tersebut. Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Memiliki hikmah, Maha Mulia lagi Maha Tinggi, tidak memberikan hidayah hati kepada setiap orang, namun hanya diberikannya kepada orang yang diketahui-Nya berhak mendapatkannya dan dia memang pantas. Sementara orang yang Dia ketahui tidak pantas memperoleh hidayah dan tidak cocok, maka diharamkan dari hidayah tersebut.

Asy-Syaikh yang mulia melanjutkan, Di antara sebab terhalangnya seseorang dari beroleh hidayah adalah fanatik terhadap kebatilan dan semangat kesukuan, partai, golongan, dan semisalnya. Semua ini menjadi sebab seseorang tidak mendapatkan taufik dari Allah. Siapa yang kebenaran telah jelas baginya namun tidak menerimanya, ia akan dihukum dengan terhalang dari hidayah. Ia dihukum dengan penyimpangan dan kesesatan, dan setelah itu ia tidak dapat menerima al-haq lagi. Maka di sini ada hasungan kepada orang yang telah sampai al-haq kepadanya untuk bersegera menerimanya. Jangan sampai ia menundanya atau mau pikir-pikir dahulu, karena kalau ia menundanya maka ia memang pantas diharamkan/dihalangi dari hidayah tersebut. Allah  berfirman:

Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati-hati mereka.” (Ash-Shaf: 5)

Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada awal kalinya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al-An’am: 110) [I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, 1/357]

PERLU ENGKAU KETAHUI HIDAYAH ITU ADA DUA MACAM
1. Hidayah yang bisa diberikan oleh makhluk, baik dari kalangan para nabi dan rasul, para da’i atau selain mereka. Ini dinamakan hidayah irsyad (bimbingan), dakwah dan bayan (keterangan). Hidayah inilah yang disebutkan dalam ayat:

Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) benar-benar memberi hidayah/petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)

2. Hidayah yang hanya bisa diberikan oleh Allah, tidak selain-Nya. Ini dinamakan hidayah taufik. Hidayah inilah yang ditiadakan pada diri Rasulullah n, terlebih selain beliau, dalam ayat:

Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) tidak dapat memberi hidayah/petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Qashash: 56)

Yang namanya manusia, baik ia da’i atau selainnya, hanya dapat membuka jalan di hadapan sesamanya. Ia memberikan penerangan dan bimbingan kepada mereka, mengajari mereka mana yang benar, mana yang salah. Adapun memasukkan orang lain ke dalam hidayah dan memasukkan iman ke dalam hati, maka tak ada seorang pun yang kuasa melakukannya, karena ini hak Allah semata. (Al-Qaulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Ibnu Utsaimin, sebagaimana dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il beliau, 9/340-341)

Saudaraku, bersyukurlah kepada Allah ketika engkau dapati dirimu termasuk orang yang dipilih-Nya untuk mendapatkan dua hidayah yang tersebut di atas. Karena berapa banyak orang yang telah sampai kepadanya hidayah irsyad, telah sampai padanya dakwah, telah sampai padanya al-haq, namun ia tidak dapat mengikutinya karena terhalang dari hidayah taufik. Sementara dirimu, ketika tahu al-haq dari al-batil, segera engkau pegang erat yang haq tersebut dan engkau empaskan kebatilan sejauh mungkin. Berarti hidayah taufik dari Rabbul Izzah menyertaimu. Tinggal sekarang, hidayah itu harus engkau jaga, karena ia sangat bernilai dan sangat penting bagi kehidupan kita. Ia harus menyertai kita bila ingin selamat di dunia, terlebih di akhirat. Bagaimana tidak? Sementara kita di setiap rakaat dalam shalat diperintah untuk memohon kepada Allah hidayah kepada jalan yang lurus.

Tunjukilah (berilah hidayah) kami kepada jalan yang lurus.” (Al-Fatihah: 6)

Bila timbul pertanyaan, bagaimana seorang mukmin meminta hidayah di setiap waktu shalatnya dan di luar shalatnya, sementara mukmin berarti ia telah beroleh hidayah? Bukankah dengan begitu berarti ia telah meminta apa yang sudah ada pada dirinya?

Al-Hafizh Ibnu Katsir  memberikan jawabannya: Allah membimbing hamba-hamba-Nya untuk meminta hidayah, karena setiap insan membutuhkannya siang dan malam. Seorang hamba butuh kepada Allah setiap saat untuk mengokohkannya di atas hidayah, agar hidayah itu bertambah dan terus-menerus dimilikinya. Karena seorang hamba tidak dapat memberikan kemanfaatan dan tidak dapat menolak kemudaratan dari dirinya, kecuali apa yang Allah kehendaki. Allah pun membimbing si hamba agar di setiap waktu memohon kepada-Nya pertolongan, kekokohan, dan taufik. Orang yang bahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah k untuk memohon hidayah, karena Allah telah memberikan jaminan untuk mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya di sepanjang malam dan di pengujung siang. Terlebih lagi bila si hamba dalam kondisi terjepit dan sangat membutuhkan bantuan-Nya. Ini sebanding dengan firman-Nya:

Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya…” (An-Nisa’: 136)

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang yang telah beriman agar tetap beriman. Ini bukanlah perintah untuk melakukan sesuatu yang belum ada, karena yang dimaukan dengan perintah beriman di sini adalah hasungan agar tetap tsabat (kokoh), terus-menerus dan tidak berhenti melakukan amalan-amalan yang dapat membantu seseorang agar terus di atas keimanan. Wallahu a’lam. (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/38)

Berbahagialah dengan hidayah yang Allah berikan kepadamu dan jangan biarkan hidayah itu berlalu darimu. Mintalah selalu kekokohan dan keistiqamahan di atas iman kepada Dzat Yang Maha Mengabulkan doa. Teruslah mempelajari agama Allah. Hadirilah selalu majelis ilmu. Dekatlah dengan ulama, cintai mereka karena Allah. Bergaullah dengan orang-orang shalih dan jauhi orang-orang jahat yang dapat merancukan pemahaman agamamu serta membuatmu terpikat dengan dunia. Semua ini sepantasnya engkau lakukan dalam upaya menjaga hidayah yang Allah anugerahkan kepadamu. Satu lagi yang penting, jangan engkau jual agamamu karena menginginkan dunia, karena ingin harta, tahta, dan karena cinta kepada lawan jenis. Sekali-kali janganlah engkau kembali ke belakang. Kembali kepada masa lalu yang suram karena jauh dari hidayah dan bimbingan agama. Ingatlah:

Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)

Kata Al-Imam Al-’Allamah Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi, Kebenaran dan kesesatan itu tidak ada perantara antara keduanya. Maka, siapa yang luput dari kebenaran mesti ia jatuh dalam kesesatan.” (Mahasinut Ta’wil, 6/24)

Lalu apa persangkaanmu dengan orang yang tahu kebenaran dari kebatilan, semula ia berjalan di atas kebenaran tersebut, berada di dalam hidayah, namun kemudian ia futur (patah semangat, tidak menetapi kebenaran lagi, red.) dan lisan halnya mengatakan ‘selamat tinggal kebenaran’? Wallahul Musta’an. Sungguh setan telah berhasil menipu dan mengempaskannya ke jurang yang sangat dalam.

Ya Allah, wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu, di atas ketaatan kepada-Mu. Amin ya Rabbal ‘alamin ….

Wallahu a’lam bish-shawab.

Rabu, 22 Maret 2023

Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Dibulan Dzulhijjah

One Day One Hadits (244)
------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Keutamaan  Sepuluh Hari Pertama  Dibulan Dzulhijjah

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: ((مَا الْعَمَلُ فِى أَيَّامِ الْعَشْرِ أَفْضَلَ مِنَ الْعَمَلِ فِى هَذِهِ)). قَالُوا: وَلاَ الْجِهَادُ؟ قَالَ: ((وَلاَ الْجِهَادُ، إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ يُخَاطِرُ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ بِشَىْءٍ)) [رواه البخاري]

Artinya: “Dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada amal ibadah yang lebih utama selain yang dikerjakan pada sepuluh hari ini (maksudnya sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah)”. Para sahabat bertanya: “Apakah sekalipun jihad di jalan Allah?”. Rasulullah saw menjawab: “Sekalipun dari jihad. Kecuali seseorang yang keluar untuk berjihad dengan diri dan hartanya, lalu tidak ada sedikit pun yang pulang dari padanya” (HR. Bukhari).

Pelajaran yang terdapat di dalam hadist:

1. Dalam hadits di atas, baginda Rasulullah saw menjelaskan bahwa apapun ibadah yang dilakukan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, ia adalah paling utama—dan dalam riwayat lain dari Imam Turmudzi: paling dicintai oleh Allah. Bahkan, pahalanya sangat besar, mengalahkan pahala jihad sekalipun. Hal ini, karena ibadah tersebut dilakukan pada waktu yang dimuliakan oleh Allah.

2. Apabila amal shaleh yang dilakukan pada sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah dari hari-hari lainnya dalam seluruh tahun, maka amal shaleh apapun yang dikerjakan di dalamnya—sekalipun amal shaleh tersebut biasa—lebih utama dari amal-amal shaleh lainnya yang dikerjakan pada hari-hari lain, sekalipun amal shaleh tersebut utama”.

3. Ini menunjukkan bahwa amal shaleh biasa yang dilakukan pada waktu istimewa akan menyamai (pahala) amal shaleh utama yang dikerjakan pada hari-hari biasa. Bahkan, dilebihkan dengan dilipatgandakan pahala dan balasannya”.

4. Sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang paling utama (afdhal) dari seluruh hari-hari yang ada di dunia (afdhal ayyâm ad-dunyâ).

Dalam sebuah hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bazzâr, Rasulullah saw pernah bersabda:
عن جابر قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((أفضل أيام الدنيا أيام العشر)) [رواه البزار، وصححه الألباني في صحيح الجامع برقم: 1133].
Artinya: “Jabir berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Seutama-utama hari-hari di dunia ini adalah sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah” (HR. Imam al-Bazzâr, dan hadits ini dinilai Shahih oleh Syaikh Albany sebagaimana disebutkan dalam Shahîh al-Jâmi’ nya, nomor 1133).

5. Bahkan, saking mulianya sepuluh hari pertama Dzulhijjah ini, banyak ulama yang berpendapat, sebagaimana disampaikan Ibnu Katsir, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah ini lebih baik dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sekalipun. Hal ini karena dalam sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah terkumpul ibadah-ibadah yang dilakukan pada bulan Ramadhan, mulai dari puasa, shalat, sedekah dan lainnya.

6. Demikian, di antara sebagian kecil dari segunung kemuliaan dan keistimewaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

Tema hadist yang berkaitan dengan Al-qur'an :

1. Dzulhijjah adalah salah satu bulan yang dimuliakan di dalam Islam.

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi. Di antaranya empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi kalian semuanya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. At Taubah: 36)

2. Di dalam bulan Dzulhijjah ada hari-hari yang dipilih oleh Allah sebagai hari-hari terbaik sepanjang tahun. 

والفجر وليال عشر

“Demi fajar, dan malam yang sepuluh” (Qs. Al Fajr: 1-2)

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan 10 malam yang dimaksud oleh Allah dalam ayat tersebut. Penafsiran para ulama ahli tafsir mengerucut kepada 3 pendapat:

Yang pertama: 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Yang kedua: 10 malam terakhir bulan Ramadhan.

Yang ketiga: 10 hari pertama bulan Al Muharram.

Yang rajih (kuat) adalah pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.

Selasa, 21 Maret 2023

Tadabbur Al-Quran Hal. 278

Tadabbur Al-Quran Hal. 278
----------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

- Al Qur'an Indonesia Tajwid.

- An-Nahl ayat 99 :

اِنَّهٗ لَيْسَ لَهٗ سُلْطٰنٌ عَلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

Sungguh, setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan.

- Mujam An-Nahl ayat 99 :

سُلْطٰنٌ

As-Sultän artinya kekuasaan. Arti ini diambil dari arti kata As-Salätah. Allah berfirman, Sekiranya Allah menghendaki, niscaya diberikan-Nya kekuasaan kepada mereka... (QS An-Nisa, 4: 90). Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya... (Qs Al-Isrā, 17: 33)

Selain itu kata Sultan bisa juga berarti huijah alasan, Allah Swt. berfirman, (yaitu) orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan... (QS Găfir, 40: 35), ..
karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.+. (Q5 lbrähim, 14: 10). (Ar-Rägib Al-Asfahani, Mujam Mufradati Alfazi Al Qur'äni, 1431 H/2010 M: 179)

Senin, 20 Maret 2023

TRADISI SYIRIK & BID'AH DIANGGAP SUNNAH ASAL NIATNYA BAIK

Tematik (128)
---------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

TRADISI SYIRIK & BID'AH DIANGGAP SUNNAH ASAL NIATNYA BAIK❓

Bismillah,
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

TIDAK SEDIKIT SAUDARA KITA KAUM MUSLIMIN  YANG MASIH GAGAL MEMAHAMI HADIS "SETIAP AMAL TERGANTUNG PADA NIAT" SEHINGGA PERBUATAN SYIRIK DAN BID'AHPUN DIANGGAP BAIK?!

Hadits "Setiap amal tergantung pada niat" adalah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Hanya saja tidak jarang sebagian kaum muslimin salah dalam pemahaman dan penerapannya, akibatnya perbuatan maksiat, syirik dan bid'ah bisa dianggap baik yang penting niatnya baik.

Kegagalpahaman ini membuat sebahagian umat yang sesat karena merasa nyaman melakukan amalan kesukaannya atas jaminan hadits ini.
      
Padahal amat jelas hadits ini ditujukan pada AMAL IBADAH YANG DISYARIATKAN ALLAH dan tidak berlaku pada amalan yang tidak disyariatkan Allah. 

Dalan Hadits Rosulullah ﷺ telah memberikan contoh hijrah. Diterima atau tidak hijrah seseorang tergantung pada niatnya, kalau niatmya untuk memperoleh ridho Allah maka Allah akan memberinya pahala, tetapi kalau niatnya hanya karena tidak mau berpisah dengan wanita pujaannya, maka Allah tidak akan memberinya pahala.
       
Contoh lainnya pelaksanaan ibadah haji, dibalas atau tidaknya surga tergantung pada niatnya, bila niatnya untuk mendapatkan ridho Allah maka Allah akan memberinya pahala, yang penting pelaksanaannya sesuai tuntunan Nabi dan  kalau niatnya karena mau memperoleh gelar haji maka Allah akan memberinya gelar haji tetapi tidak memberinya pahala,walau pelaksanaannya sesuai tuntunan Nabi.  

Hadits pertama dalam Kitab Sahih Bukhari ini tidak berlaku pada amalan yang tidak disyariatkan karena pelaksanaannya sudah salah, tidak sesuai dengan tuntunan Sunnah Rasulullah, misalnya:

1. Mempersembahkan sesajen di pantai, walau niatnya baik untuk bersedekah kepada ikan-ikan di laut tetapi Allah tidak pernah mensyariatkan kita mempersembahkan sesajen ke ikan-ikan di laut, apalagi bila niatnya  untuk kesejahteraan makhluk gaib yang menguasai laut. 

2. Bertawassul atau meminta pertolongan di kuburan wali walau niatnya hanya berdoa kepada Allah, tetapi Allah tidak pernah mensyariatkan kita berdoa untuk diri di kuburan, yang disyariatkan adalah mendoakan penghuni kubur. 

3. Tahlilan kematian, walau niatnya baik untuk mengirimi pahala kepada orang mati, tetapi Allah tidak pernah mensyariatkan memggelar tahlilan kematian pada waktu-waktu yang telah ditentukan. 
       
Kalau hadits ini digunakan pada semua amalan manusia, maka Allah tidak perlu memerintahkan hamba-Nya untuk meninggalkan syirik dan bid'ah, karena tidak ada syirik dan bid'ah yang penting niatnya baik dan tidak ada niat mempersekutukan Allah. 

Selamatlah pula koruptor yang penting niatnya baik untuk mensejahterahkan keluarga, membangun masjid, mengawini janda-janda, atau untuk menyantuni anak yatim dan fakir miskin.

Berikut ini syarah (penjelasan) hadits tentang niat,

ٍعَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. 

Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” 
(HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

Minggu, 19 Maret 2023

Menyembelih Qurban Sebelum Waktunya

One Day One Hadits (243)
------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Menyembelih Qurban Sebelum Waktunya

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ حَدَّثَنَا مَنْصُورٌ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ الْبَرَاءِ قَالَ خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَقَالَ مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَتِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ فَقَامَ أَبُو بُرْدَةَ بْنُ نِيَارٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ لَقَدْ نَسَكْتُ قَبْلَ أَنْ أَخْرُجَ إِلَى الصَّلَاةِ وَعَرَفْتُ أَنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ فَتَعَجَّلْتُ فَأَكَلْتُ وَأَطْعَمْتُ أَهْلِي وَجِيرَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ فَقَالَ إِنَّ عِنْدِي عَنَاقًا جَذَعَةً وَهِيَ خَيْرٌ مِنْ شَاتَيْ لَحْمٍ فَهَلْ تُجْزِئُ عَنِّي قَالَ نَعَمْ وَلَنْ تُجْزِئَ عَنْ أَحَدٍ بَعْدَكَ

Telah menceritakan kepada kami [Musaddad], telah menceritakan kepada kami [Abu Al Ahwash], telah menceritakan kepada kami [Manshur], dari [Asy Sya'bi], dari [Al Bara`], ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah kepada kami pada hari penyembelihan ('idul Adhha) setelah melakukan shalat. Beliau berkata: "Barangsiapa yang melakukan shalat seperti shalat kami dan menyembelih sembelihan kami maka sungguh ia telah telah melakukan kurban, dan barang siapa yang menyembelih sebelum shalat maka hal itu adalah kambing daging (untuk dimakan dagingnya saja)." Kemudian Abu Burdah bin Diyar berdiri dan berkata; wahai Rasulullah, aku telah menyembelih sebelum keluar untuk melakukan shalat, dan aku telah mengetahui bahwa hari ini adalah hari makan dan minum, maka aku segerekan penyembelihan tersebut, lalu aku makan dan memberi makan keluarga serta tetanggaku. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Itu adalah kambing untuk dimakan dagingnya saja." Kemudian beliau bersabda: "Sesungguhnya bagiku kambing yang berumur satu tahun lebih baik daripada dua kambing daging (yang dimakan dagingnya saja)." Al Bara` berkata: "Apakah sah bagiku? Ia berkata; ya. Dan tidak sah untuk seorang pun setelahmu."
(HR Abu Daud) 

Pelajaran yang terdapat di dalam hadist :

1. Dalil di atas menunjukkan orang yang menyembelih qurban sebelum waktunya, maka dagingnya dianggap hanya daging biasa. Apakah halal? Halal, namun dagingnya bukan berstatus daging qurban.
tidak dinilai sebagai qurban, meskipun halal dimakan karena cara menyembelihnya benar. Dan wajib diulang qurbannya. 
Imam Bukhari mmengatakan dalam kitab shahihnya,

باب مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ أَعَادَ

Bab, Siapa yang Menyembelih Sebelum Shalat, maka Dia harus mengulang qurbannya. (Shahih Bukhari, Bab al-Adhahi, Sub-bab ke-12).

2. Qurban itu disembelih setelah shalat bersama imam. Demikian qurban tersebut dikatakan sah. Sebagaimana kata Ibnul Mundzir, “Para ulama sepakat bahwa udhiyah (qurban) tidaklah boleh disembelih sebelum terbit fajar pada hari Idul Adha.” Sedangkan waktu setelah itu (setelah terbit fajar), para ulama berselisih pendapat. Imam Syafi’i, Daud (Azh Zhohiriy), Ibnul Mundzir dan selain mereka berpendapat bahwa waktu penyembelihan qurban itu masuk jika matahari telah terbit dan lewat sekitar shalat ‘ied dan dua khutbah dilaksanakan. Jika qurban disembelih setelah waktu itu, sahlah qurbannya, baik imam melaksanakan shalat ‘ied ataukah tidak, baik imam melaksanakan shalat Dhuha ataukah tidak, begitu pula baik yang melaksanakan qurban adalah penduduk negeri atau kampung atau  musafir, juga baik imam telah menyembelih qurbannya ataukah belum.

Tema hadist yang berkaitan dengan al quran :

- Pada hakikatnya, yang diterima Allah dari ibadah kurban itu bukanlah daging atau darah hewan yang dikurbakan, melainkan ketakwaan dan ketulusan dari orang yang berkurban, itulah yang sampai kepada-Nya

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

Daging dan darah binatang korban atau hadiah itu tidak sekali-kali akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepadaNya ialah amal yang ikhlas yang berdasarkan taqwa dari kamu. Demikianlah Ia memudahkan binatang-binatang itu bagi kamu supaya kamu membesarkan Allah kerana mendapat nikmat petunjukNya. Dan sampaikanlah berita gembira (dengan balasan yang sebaik-baiknya) kepada orang-orang yang berusaha supaya baik amalnya.
[Surat Al-Hajj 37]

Sabtu, 18 Maret 2023

Sesungguhnya Setiap Amal Perbuatan Tergantung pada Niatnya

Asbabul Wurud (01)
-------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bab Thaharah (Bersuci) - Niat

Sesungguhnya Setiap Amal Perbuatan Tergantung pada Niatnya

- Hadits: dikeluarkan oleh enam orang Imam, dari Umar bin al-Khaththab ra dia berkata: "Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيبُهَا، أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

'Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung niatnya. Dan sesungguhnya bagi setiap seorang adalah apa yang diniatkannya. Maka barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya untuk dunia yang akan dia peroleh atau wanita yang dia nikahi, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia hijrah karenanya.'

- Sababul Wurud Hadits Ke-1:

Az-Zubair bin Bakar mengatakan dalam Akhbar al-Madinah: "Muhammad bin al-Hasan meriwayatkan kepadaku dari Muhammad bin Thalhah bin 'Abdurrahman dari Musa bin Muhammad bin Ibrahim bin al-Harits dari ayahnya, dia mengatakan: 'Ketika Rasulullah saw datang di Madinah para shahabatnya (sedang sakit) di sana. Dan datanglah (seorang laki-laki) [1] dan menikahi seorang perempuan yang telah berhijrah. Kemudian Rasulullah saw duduk di atas mimbar dan berkata, 'Wahai manusia, sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niatnya,' (beliau mengatakannya) tiga kali. 'Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang dia cari atau perempuan yang dia akan pinang, maka hijrahnya adalah kepada apa yang dia berhijrah kepadanya.' Kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berkata, 'Ya Allah, pindahkanlah wabah ini dari kami.' Tiga kali. Maka ketika pagi hari beliau berkata, "Malam tadi aku didatangi oleh demam. Dia berupa seorang tua yang hitam dengan membawa lubab di kedua tangannya. Maka dia berkata, ini adalah (demam). Lalu apa pendapatmu?' Aku pun berkata, 'Bawalah ia ke Khim.'"

- Tahqiq Hadits Ke-1:

Lafazh Abu Dawud, kitab: ath-Thalaq, bab: Fi ma 'Ana bihi ath-Thalaq wa an-Niyat (Tentang Seseorang yang Berniat Thalak dan Niat-niat Lainnya);

Dikeluarkan oleh al-Bukhari, Kaifa Kana Bada'aal-Wahyu (Bagaimanakah Dahulu Wahyu Mulai, (1/2)), Kitab an-Nikah, Bab: Man Hajara au 'Amila Khairan Litazwiji Imra'atan falahu Ma Nawa fi al-Aiman wa Ghairiha (Barangsiapa Berhijrah atau Berbuat Baik untuk Bisa Menikah dengan Seorang Perempuan maka Baginya Apa yang Diniatkannya), (4/7); al-Hil, bab: FiTarkil Hil wa anna Likulli ilmri'in ma Nawa (Meninggalkan Hil, dan Sesungguhnya bagi Setiap Orang Adalah Apa yang Diniatkannya dalam Sumpah dan Lainnya, (9/29));

Muslim, kitab al-Imarah, bab: Innamal A'malu bi an-Niyyat (Sesungguhnya Amalan Itu Tergantung Niatnya, (4/572));

An-Nasa'i, kitab: ath-Thoharah, bab: an-Myyah ft al-Wudhu' (Niat dalam Wudhu, (1/51)), kitab: ath-Thalaq, bab: Al-Kalam Idza Qashodo bihi Fima Yahtamilu Ma'nahu (Perkataan Apabila Dimaksudkan pada Kandungan dari Maknanya, (6/129));

Ibnu Majah, Kitab az-Zuhdu, bab: an-Niyyah (Niat, (2/1413)) dengan lafazh-lafazh yang hampir serupa.

Anda dapat melihat bahwa hadits beserta sebabnya yang telah disebutkan, keduanya tidak mempunyai kaitan dengan bab ini. Meskipun mungkin juga memberikan apologi untuk as-Suyuthi mengenai hal tersebut, bahwa maksudnya adalah membuka bukunya dengan apa yang al-Bukhari telah membuka kitabnya dengan itu, atau mungkin saja as-Suyuthibermaksud dengan hadits ini adalah thaharah batin sebelum dia membicarakan mengenai thaharah lahir.

- Keterangan Sababul Wurud Hadits Ke-1:

Az-Zubair bin Bakar, lihat tentang profilnya. Hadits ini lemah. Pada sanadnya terdapat Muhammad bin Thalhah bin 'Abdurrahman yang sering keliru, dan Musa bin Muhammad, hadits darinya diingkari. Akan tetapi saya merasakan konteks dari hadits di atas adalah mencela orang yang melakukan hal tersebut yaitu orang yang mencari perempuan dengan gambar hijrah murni. Sementara orang yang mencarinya dalam kandungan hijrah, maka sesungguhnya dia mendapat pahala atas niat hijrah akan tetapi tidak mendapat pahala orang yang ikhlas.

Demikian pula orang yang mencari pernikahan saja tanpa 'gambar' hijrah kepada Allah. Karena hal tersebut termasuk dari perkara mubah yang terkadang pelakunya mendapatkan pahala apabila dimaksudkan sebagai taqarrub seperti untuk menjaga iffah. Sebagai contoh dari hal tersebut adalah apa yang terjadi dalam kisah Abu Thalhah yang telah diriwayatkan oleh an-Nasa'i dari Anas, dia mengatakan: "Abu Thalhah menikahi Ummu Sulaim, dan maskawin di antara keduanya adalah Islam. Ummu Sulaim telah memeluk Islam sebelum Abu Thalhah, yang kemudian Abu Thalhah meminangnya, maka dia berkata, 'Sesungguhnya aku telah memeluk Islam. Apabila engkau telah memeluk Islam, aku akan menikahimu.'" Maka Abu Thalhah masuk Islam dan Ummu Sulaim pun menikah dengannya. Hal tersebut menyiratkan bahwa dia senang dengan Islam dan hendak memeluknya dari segi Abu Thalah dan hal tersebut termasuk juga keinginannya menikah yang merupakan hal mubah. Maka hal ini hampir sama dengan orang yang berniat puasa sekaligus untuk menjaga diri. Atau thawaf sebagai ibadah sekaligus kewajiban hutangnya.

Sementara ulama lain berpendapat berkaitan dengan masalah pahala: "Apabila niatnya didominasi oleh keduniaan, maka dia tidak mendapatkan pahala, tetapi apabila keagamaan yang lebih dominan maka dia mendapatkan pahala yang sesuai. Namun apabila niat di antara keduanya sama, maka tidak mendapatkan pahala. Sedangkan apabila diniatkan sebagai ibadah, dan tercampur dengan sesuatu yang mengubah keikhlasan maka Abu Ja'far ath-Thabari menukil dari jumhur salaf bahwa yang dinilai adalah permulaannya. Maka apabila permulaannya adalah tulus untuk Allah, maka apa-apa yang terjadi padanya setelah itu tidak berbahaya baginya." Fathu al-Bari (1/16), cet. Al-Ahram, tahqiq: as-Sayid Shaqar.

- At-Talbib: tempat diletakkannya syal pada baju. Dikatakan: seorang laki-laki bersyal atau menggunakan syal, yaitu apabila dia meletakkan di lehernya pakaian atau hal lainnya, dan kemudian berselimut dengannya. Al-Fa iq fi Gharib al-Hadits, Zamakhsyari (4/44).

- Khim: suatu tempat antara Makkah dan Madinah, yang di Sana terdapat mata air yang disebut Ghadir Khim, Nihayah (1/322). Ibnu Hajar mengatakan bahwa sebab dari hadits ini adalah kisah Muhajir Qais dan kita tidak mengetahui mengapa disebut demikian (1/16).

___________________

Yang terkenal dengan sebutan Muhajir Ummu Qais dan tidak diketahui namanya. Sedangkan perempuan tersebut konon kabarnya bernama Qatilah, dan ada yang mengatakan bukan itu.

Jumat, 17 Maret 2023

Tadabbur Al-Quran Hal. 277

Tadabbur Al-Quran Hal. 277
----------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

- Al Qur'an Indonesia Tajwid.

- An-Nahl ayat 91 :

وَاَوْفُوْا بِعَهْدِ اللّٰهِ اِذَا عَاهَدْتُّمْ وَلَا تَنْقُضُوا الْاَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللّٰهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُوْنَ

Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah, setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu).  Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

- Asbabun Nuzul An-Nahl ayat 91 :

Ibnu jarir meriwayatkan dari buraidah. Ayat ini turun tentang baiat Nabi saw.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Buraidah bahwa ayat ini turun sebagai perintah untuk mematuhi baiat pada Nabi sallallahu alaihi wa sallam (masuk Islam). Sumber: Asbabun Nuzul-K.H.Q.Shaleh - H.AA. Dahlan dkk.

- Tafsir Al Muyassar An-Nahl ayat 91 :

Tetaplah menepati semua janji yang kalian wajibkan atas diri kalian antara kalian dengan Allah, atau antara kalian dengan manusia, dalam perkara yang tidak menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya. Janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah sesudah kalian meneguhkannya, padahal kalian telah menjadikan Allah
sebagai penjamin atas kalian ketika kalian berjanji pada-Nya. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kalian lakukan, dan Dia akan membalas kalian atas perbuatan tersebut.

Kamis, 16 Maret 2023

Ketika Amalan Tercampur Riya’ dan Keinginan Dunia

Tematik (127)
---------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Ketika Amalan Tercampur Riya’ dan Keinginan Dunia

Bahaya dibalik amalan tercampur riya’ dan keinginan dunia.
Tulisan kali ini adalah pembahasan terakhir kami “berusaha untuk ikhlas”. Sebelumnya telah kami bahas mengenai tanda-tanda ikhlas yaitu berusaha menyembunyikan amalan, tidak ingin mencari popularitas dan merasa serba kekurangan dalam beramal. Di penutup tulisan ini, kami juga mengutarakan “tips-tips agar ikhlas”. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi penyemangat bagi kita sekalian agar berusaha memperbaiki amalan selalu ikhlas kepada Allah.

Amalan yang Tercampur Riya’

Jika riya’ ada dalam setiap ibadah, maka itu hanya ada pada orang munafik dan orang kafir.

Jika ibadah dari awalnya tidak ikhlas, maka ibadahnya tidak sah dan tidak diterima.

Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tujukan ibadahnya pada makhluk, maka pada saat ini ibadahnya juga batal.

Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tambahkan dari amalan awalnya tadi kepada selain Allah –misalnya dengan ia perpanjang bacaan qur’annya dari biasanya karena ada temannya-, maka tambahannya ini yang dinilai batal. Namun niat awalnya tetap ada dan tidak batal. Inilah amalan yang tercampur riya.

Jika niat awalnya sudah ikhlas, namun setelah ia lakukan ibadah muncul pujian dari orang lain tanpa ia cari-cari, maka ini adalah berita gembira berupa kebaikan yang disegerakan bagi orang beriman, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.[1]

Beramal Akhirat untuk Mendapatkan Dunia

Niat seseorang ketika beramal ada beberapa macam:

》 [Pertama] Jika niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin. Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah dan negeri akhirat.

》 [Kedua] Jika niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.

》 [Ketiga] Adapun jika seseorang telah beramal dengan ikhlas, hanya ingin mengharap wajah Allah semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan beragama.[2]

Adapun amalan yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:

》 [Pertama] Amalan yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.
Misalnya: Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.

》 [Kedua] Amalan yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlas, maka ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.[3]
Sebenarnya jika seseorang ikhlas dalam beramal tanpa mengharap-harap dunia, maka dunia akan datang dengan sendirinya. Semoga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menjadi renungan bagi kita semua,
مَنْ كَانَتِ الآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِى قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِىَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهَ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا قُدِّرَ لَهُ
“Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai akhirat, maka Allah akan memberikan kecukupan dalam hatinya, Dia akan menyatukan keinginannya yang tercerai berai, dunia pun akan dia peroleh dan tunduk hina padanya. Barangsiapa yang niatnya adalah untuk menggapai dunia, maka Allah akan menjadikan dia tidak pernah merasa cukup, akan mencerai beraikan keinginannya, dunia pun tidak dia peroleh kecuali yang telah ditetapkan baginya.”[4]

Penutup: Bagaimana Cara Agar Ikhlas?

Mendalami ilmu ikhlas dan riya’.

Mengenal nama dan sifat Allah dan lebih mendalami tauhid.

Selalu memohon kepada Allah agar dimudahkan untuk ikhlas dalam setiap amalan.

Berpikir bahwa dunia ini akan fana.

Takut mati dalam keadaan su’ul khotimah (akhir yang jelek) dan takut terhadap siksa kubur.

Memikirkan kenikmatan surga bagi orang-orang yang berbuat ikhlas.

Mengingat siksa neraka bagi orang-orang yang berbuat riya’.

Takut akan terhapusnya amalan karena riya’.

Semangat dalam menyembunyikan amalan, rutin dalam melakukan shalat malam dan puasa sunnah.

Meninggalkan rasa tamak pada apa yang ada pada manusia.

Memiliki waktu untuk mengasingkan diri dan menyendiri untuk beramal.

Bersahabat dengan orang-orang sholih yang selalu ikhlas dalam amalannya.

Membaca kisah-kisah orang yang berbuat ikhlas.

Sering muhasabah atau introspeksi diri.

Mengingat bahwa setan tidak akan mengganggu orang-orang yang berusaha untuk ikhlas.[5]

Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk menjadi orang-orang yang berbuat ikhlas dalam beramal. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Rabu, 15 Maret 2023

Tata Cara Penyembelihan

One Day One Hadits (242)
------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Tata Cara Penyembelihan

عن أنس بن مالك رضي اللَّه عنه قال، 
 ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَكَبَّرَ وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata :
“ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berqurban dengan dua domba yang berwarna putih yang ada hitamnya, dan bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangannya, menyebut nama Allah dan bertakbir, dan meletakkan kakinya di atas samping kambing. “ ( HR. al-Bukhari (5558) dan Muslim (1966 ))

Pelajaran yang terdapat di dalam hadist :

1. Wajib membaca basmalah, dan disunnahkan bertakbir. Lalu meletakkan kaki pada leher hewan sembelihan.

2. Disunnahkan menyebut nama shahibul qurban. Sebagaimana praktek Nabi ketika berqurban beliau bersabda:

اللهم هذا عني، وعمّن لم يُضحِّ من أمتي

“Ini qurban dariku dan umatku yang tidak bisa berqurban” (HR. Al Hakim 7629, dishahihkan Al Albani dalam Syarah At Thahawiyah 456)

3. Gunakan pisau yang tajam sehingga cepat putus dengan demikian hewan qurban tidak terlalu lama merasakan sakit, dan tenangkan hewan sebelum di sembelih. Dalilnya:

وإذا ذبحتم فأحسنوا الذبح . وليحد أحدكم شفرته . فليرح ذبيحته

“Jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya kalian menajamkan pisau dan hendaknya ia menenangkan hewan sembelihannya” (HR. Muslim 1995)

Tema hadist yang berkaitan dengan Al-qur'an :

- Wajib membaca basmalah, dan disunnahkan bertakbir. Lalu meletakkan kaki pada leher hewan sembelihan. Dalilnya:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“Jangan kalian makan sembelihan yang tidak disebut nama Allah atasnya, karena itu adalah kefasikan” (QS. Al An’am: 121)

- Hewan benar-benar mati karena disembelih. Pendapat Ibnu Abbas dan Mujahid, bahwa sesungguhnya tidak boleh memakan unta yang disembelih kecuali bila telah nyata kematiannya dan tidak bergerak-gerak lagi.

فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا

Kemudian apabila telah roboh (mati). (Al-Hajj: 36).

Senin, 13 Maret 2023

Tadabbur Al-Quran Hal. 276

Tadabbur Al-Quran Hal. 276
----------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

- Al Qur'an Indonesia Tajwid.

- An-Nahl ayat 83 :

يَعْرِفُوْنَ نِعْمَتَ اللّٰهِ ثُمَّ يُنْكِرُوْنَهَا وَاَكْثَرُهُمُ الْكٰفِرُوْنَ ࣖ

Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang yang ingkar kepada Allah.

- Asbabun Nuzul An-Nahl ayat 83 :

Ibnu abi hatim meriwayatkan dari mujahid bahwa seorang arab badui mendatangi NAbi saw dan meminta suatu pemberian kepada beliau. Nabi saw membacakan kepadanya, "dan allah menajadikan rimah-rumah bagimu sebagai tempat tinggal..."(16:80) si badui berkata,"Ya" lalu beliau membacakan lagi ayat tadi. Si baduy menjawab lagi "Ya". Hingga bacaan beliau sampai pada.."... demikianlah Allah menyempurnakan nikmatNya padamu..."(16:81). Maka pergilah si Baduy. Lalu allah menurunkan ayat ini.

- Tafsir Al Muyassar An-Nahl ayat 83 :

Orang-orang musyrik itu mengetahui nikmat Allah yang diberikan kepada mereka, dengan diutusnya Muhammad kepada mereka, kemudian mereka mengingkari kenabiannya, dan kebanyakan kaumnya adalah orang-orang yang ingkar kepada kenabiannya, tidak mengakuinya.

Minggu, 12 Maret 2023

Makna Dan Macam Perkara Ghaib

Tematik (126)
---------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Makna Dan Macam Perkara Ghaib

Di zaman modern seperti sekarang ini, masih banyak beredar berbagai hal yang berkaitan dengan perkara ghaib. Maka berikut pembahasan mengenai makna dan pembagian perkara ghaib:

Makna Perkara Ghaib

Makna bahasa

Secara bahasa kata (الْغَيْبُ) adalah mashdar dari kata : ghaaba, yaghiibu, ghaiban (غَابَ – يَغِيْبُ – غَيْباً). Adapun maknanya adalah:

كل ما غاب عنك أو هو كل كا غاب عن العيون وإن كان محصلا في القلب

“Segala yang terluput dari engkau, atau segala yang terluput dari pandangan mata meskipun diyakini oleh hati.” (Lisanul ‘Arab : 1/654 oleh Ibnul Mandzur).

Makna istilah

Adapun makna ghaib secara istilah sebagaimana dituturkan oleh Ar-Raghib Al-Asfahani (nama beliau Husain bin Muhammad Al-Asfahani) ialah :

ما غاب عن الحاسة وعلم الإنسان أي عن وعن علم الإنسان

“Sesuatu yang tidak mampu ditangkap oleh indra manusia dan ilmu manusia, maknanya keghaiban juga tidak mampu ditangkap oleh ilmu manusia.” (Mufradat Gharibil Qur’an : 1090).

Allah Ta’ala berfirman  :

وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ

“Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa keburukan.” (QS. Al-A’raf : 188)

Beriman pada Perkara Ghaib

Para ulama menyatakan bahwa penyebutan kata ghaib di dalam Al-Qur’an terdapat pada lima puluh enam lokasi. Dari sekian banyak ayat tersebut Syaikh Prof. DR Basam Ali Salamah Al-Amusy menyimpulkan bahwa ghaib menurut Al-Qur’an itu adalah :

ما غاب عن الحواس وهو الأمر الذي لا يعلمه إلا الله تعالي ولا يعلمه الرسول صلي الله عليه وسلم فضلا عن بقية الناس إلا من أطلعه الله علي شيء منه

“Apa yang terluput dari indra manusia dan ia merupakan perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah. Tidak pula diketahui oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam apalagi oleh manusia selain beliau melainkan orang yang diberi tahu oleh Allah.” (Al-Imani Bil Ghaib : 10)

Beriman kepada perkara ghaib yang ditetapkan oleh syariat merupakan pondasi agama yang tak bisa ditawar-tawar. Dan ia menjadi barometer bagi keimanan serta ketaqwaan seseorang. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya oleh jibril tentang keimanan beliau menjawab :

أَنْ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ

“Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk,” (HR. Muslim : 8).

Tidak hanya sebatas mengimani keenam hal ini saja. Akan tetapi seorang muslim dituntut untuk mengimani semua hal yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Imam Asy-Syafi’i juga berkata ketika mendefinisikan iman :

آمَنْتُ بِاللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ، عَلَى مُرَادِ اللهِ، وَآمَنْتُ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وبِما جَاءَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، عَلَى مُرَادِ رَسُول اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Aku beriman kepada Allah dan kepada seluruh yang dating dari Allah sesuai dengan kehendak Allah. Dan aku beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh apa yang dating dari beliau sesuai dengan kehendak beliau.” (Ar-Risalah Al-Madaniyah : 121).

Macam-macam Perkara Ghaib

Perkara ghaib itu ada beberapa jenis dan macamnya:

[1] Ghaib Nisbi (relatif)

Ghaib Nisbi (relatif) adalah perkara ghaib yang diketahui sebagian makhluk dan tidak diketahui oleh sebagian yang lain. Contohnya, jin itu mengetahui sesuatu yang kadang tidak kita ketahui, atau sebagian kita ada yang mengetahui keberadaan suatu benda dan tidak diketahui oleh orang lain. Oleh karenanya, terkadang Allah memberitahukan kepada sebagian manusia (para Rasul) beberapa perkara yang ghaib. Seperti tanda-tanda kiamat yang banyak disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan lain sebagainya. Namun demikian, ilmu gaib yang Allah sampaikan pada utusan-Nya tersebut hanyalah sebatas yang Allah beri tahukan sehingga tidak mencakup seluruh ilmu ghaib yang ada. Allah berfirman :

Baca Juga:  Kenapa Ada Kaidah Fiqih “Hukum Asal Ibadah Adalah Dilarang (Haram)” ?

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَىٰ غَيْبِهِ أَحَدًا إِلَّا مَنِ ارْتَضَىٰ مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا

“(Dia adalah Rabb) Yang Mengetahui perkara yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang perkara ghaib tersebut. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS Jin : 26-27).

[2] Ghaib mutlak

Ghaib mutlak adalah perkara ghaib yang tidak diketahui oleh siapapun, tidak oleh Rasul yang diutus tidak pula oleh malaikat yang dekat dengan Allah, kecuali hanya Allah semata yang mengetahuinya. Seperti tentang waktu terjadinya hari kiamat, nasib si fulan apakah kelak akan menjadi ahli neraka atau ahli surga, dan lainnya.  Allah berfirman:

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

“Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.” (QS An-Naml : 65).

Imam Ibnu Utsaimin menyatakan ketika menjelaskan makna ayat ini :

المراد بالغيب : ما كان غائباً ، والغيب أمر نسبي ، لكن الغيب المطلق علمه خاص بالله

Baca Juga:  Seputar Sholat Malam dan Tata Cara Pelaksanaan (Bagian Terakhir)

“Yang dimaksud dengan perkara ghaib adalah sesuatu yang berstatus ghaib, dan ghaib itu sesuatu yang relatif. Akan tetapi keghaiban mutlak maka ilmunya khusus milik Allah Ta’ala.” (Syarah Aqidah Wasithiyyah : 158).

Kunci-kunci Perkara Ghaib

Kunci perkara ghaib di sini adalah hal ghaib yang bersifat mutlak yang hanya diketahui oleh Allah semata, tidak ada penduduk langit dan bumi yang mengetahui jenis perkara ghaib ini melainkan hanya Allah semata.

Allah Ta’ala berfirman :

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هو

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri.” (QS Al-An’am : 59)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مفاتح الغيب خمس ﻻ يعلمها اﻻ الله : ﻻ يعلم ما في غد اﻻ الله وﻻ يعلم ما تغيض الأرحام اﻻ الله وﻻ يعلم متى يأتي المطر أحد اﻻ الله وﻻ تدري نفس بأي أرض تموت وﻻ يعلم متى تقوم الساعة اﻻ الله

“Kunci-kunci gaib ada lima yang tidak diketahui kecuali hanya oleh Allah : Tidak ada yang mengetahui apa pun pada esok hari kecuali Allah, dan tidak ada yang mengetahui apa pun yang diselubungi rahim-rahim kecuali oleh Allah, dan tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan hujan datang kecuali Allah, dan tidak ada jiwa yang mengetahui dibumi manakah ia akan mati, dan tidak ada yang mengetahui kapan kiamat terjadi kecuali Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 4697)