بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Jumat, 09 September 2022

Larangan Berkata Kasar dan Kotor

Tematik (96)
---------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

LARANGAN BERKATA KASAR DAN KOTOR

Hadits 22
Larangan Berkata Kasar dan Kotor

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الفَاحِشَ البَذِيءَ

Dari Abu Ad-Darda’ radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, “Sungguh Allah benci dengan orang yang lisannya kotor dan kasar.” ([1])

Makna Hadits

Hadits ini adalah potongan dari sebuah hadits, selengkapnya dapat dijumpai pada Sunan Tirmizi dengan redaksi,

مَا شَيْءٌ أَثْقَلُ فِي مِيزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ خُلُقٍ حَسَنٍ، وَإِنَّ اللَّهَ لَيُبْغِضُ الفَاحِشَ البَذِيءَ

“Sesungguhnya tidak ada sesuatu apa pun yang paling berat di timbangan kebaikan seorang mukmin pada hari kiamat seperti akhlak yang mulia, dan sungguh-sungguh (benar-benar) Allah benci dengan orang yang lisannya kotor dan kasar.” ([2])

Hadits di atas diawali dengan penekanan bahwasanya timbangan yang paling berat di akhirat kelak adalah akhlak mulia, kemudian diakhiri dengan peringatan bahwasanya Allah benci terhadap orang yang memiliki kata-kata yang kotor.

Mengukur akhlak seseorang bisa ditempuh dengan banyak cara, di antaranya dengan melihat bagaimana cara dia bermuamalah, atau dari raut wajahnya apakah murah senyum atau tidak, atau cara-cara lainnya. Namun salah satu cara yang paling tepat untuk mengukur akhlak seseorang adalah dengan memperhatikan lisannya karena lisan itu adalah ungkapan hati. Dari ucapannya kita akan mengetahui seseorang itu sombong atau tidak, menghormati orang lain atau tidak, merendahkan orang lain atau tidak, mengganggu orang lain atau tidak. Semua perkara-perkara tersebut akan tergambar di lisannya.

Para ulama membedakan antara الفَاحِشَdan البَذِيءَ. الفَاحِشَ diambil dari kata الفُحْشُ (al-fuhsy) yang secara bahasa bermakna melampaui batas([3]). Sehingga maknanya dalam hadits ini adalah melampaui batas dalam cacian dan makian dengan menggunakan kata-kata yang tidak enak didengar, termasuk pula kata-kata yang jorok, semuanya masuk dalam kalimat fuhsy.

Adapun البَذِيءَ diambil dari kata البَذَاءَةُ (al-badza’ah) yang khusus untuk kalimat yang kotor yang tidak enak didengar di mana naluri manusia tidak enak mendengar kata-kata tersebut([4]). Dengan demikian maka al-fuhsy berkaitan dengan kadar pembicaraan yang berlebihan sementara al-badzaáh berkaitan dengan sifat pembicaraan yang kotor. Dalam sebagian riwayat Nabi berkata :

فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يُحِبُّ الْفُحْشَ وَلَا التَّفَحُّشَ

“Sesungguhnya Allah taáta tidak menyukai al-fushy dan at-tafahhuys (yaitu yang memaksa-maksakan diri untuk berkata-kata kotor yang berlebihan) ([5])”([6])

Nabi ﷺ memberi peringatan kepada orang yang lisannya kotor seakan-akan Nabi berkata, “Beberharapati-hatilah, jangan sampai Anda menjadi orang yang berakhlak buruk dengan menjadikan lisan Anda kotor dan jorok”. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ bersabda dalam sebuah hadits,

إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ وَدَعَهُ أَوْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ

“Sesungguhnya orang yang paling buruk kedudukannya pada hari kiamat di sisi Allah adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia akibat takut akan keburukannya.” ([7])

Menyampaikan Kebenaran pun dengan Lembut

Hadits di atas memberi peringatan kepada kita agar kita menjaga lisan-lisan kita. Bahkan tatkala kita menyampaikan kebenaran, ingin menyampaikan sunah Nabi ﷺ, ingin menyampaikan perkara-perkara tauhid, hendaknya kita tetap menjaga lisan kita. Jangan sampai kita berkata-kata kasar atau kotor yang menyebabkan orang lain lari dan tidak mau menerima.

Dalam sebuah hadits, ‘Aisyah i menceritakan tatkala sekelompok Yahudi datang menemui Rasulullah ﷺ,

عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُنَاسٌ مِنَ الْيَهُودِ فَقَالُوا: السَّامُ عَلَيْكَ يَا أَبَا الْقَاسِمِ قَالَ: «وَعَلَيْكُمْ» قَالَتْ عَائِشَةُ: قُلْتُ بَلْ عَلَيْكُمُ السَّامُ وَالذَّامُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا عَائِشَةُ «لَا تَكُونِي فَاحِشَةً» فَقَالَتْ: مَا سَمِعْتَ مَا قَالُوا؟ فَقَالَ: ” أَوَلَيْسَ قَدْ رَدَدْتُ عَلَيْهِمِ الَّذِي قَالُوا، قُلْتُ: وَعَلَيْكُمْ

Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata, “Sekelompok orang Yahudi datang menemui Nabi ﷺ dan berkata, ‘Assaamu’alaika, Ya Abal Qasim’ (kebinasaan atasmu Wahai Abul Qasim). Kemudian Nabi menjawab, ‘Wa’alaikum’ (dan kalian juga). Akupun membalas perkataan mereka dengan berkata, ‘Bal ‘alaikumussaam wadzdzaam’ (bahkan atas kamulah kebinasaan dan celaan). (Mendengar kata-kata ‘Aisyah itu) lalu Rasulullah ﷺ menegur, ‘Wahai ‘Aisyah janganlah engkau menjadi orang yang mulutnya kotor.’ Aku pun berkata: ‘Tidakkah engkau mendengar apa yang mereka ucapkan?’ Rasulullah ﷺ menjawab, “Bukankah aku telah menjawab apa yang mereka ucapkan, aku berkata, ‘wa’alaikum’ (begitu pula kamu).” ([8])

Rasulullah ﷺ menegur ‘Aisyah karena perkataannya yang kasar. Dalam riwayat lain Rasulullah ﷺ berkata,

إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

“Sesungguhnya kasih sayang (kelembutan) itu tidak akan berada pada sesuatu, melainkan ia akan menghiasinya. Sebaliknya, jika kasih sayang (kelembutan) itu dicabut dari sesuatu, melainkan ia akan membuatnya menjadi buruk.”([9])

Dalam riwayat lain Rasulullah ﷺ bersabda,

إِنَّ الله عَزَّ وَجَلَّ لاَ يُحِبُّ الفُحْشَ وَلَا التَفَحُشّ

“Sesungguhnya Allah ﷻ tidak suka dengan perbuatan keji dan kata-kata yang kotor (kasar).” ([10])

Padahal apabila kita perhatikan, seluruh perkataan ‘Aisyah i benar adanya. Dalam riwayat yang lain ‘Aisyah membalas perkataan sekelompok Yahudi tersebut dengan mengatakan,

عَلَيْكُمُ السَّامُ وَغَضَبُ اللَّهِ وَلَعْنَتُهُ يَا إِخْوَةَ الْقِرَدَةِ وَالْخَنَازِيرِ

“ ‘alaikumussam wa ghadhabullahi’ wa laknatuhu, ya ikhwatalqiradati walkhanazir. (Semoga kalian yang cepat mati, kemurkaan dan laknat Allah bagi kalian, wahai saudara-saudara monyet-monyet dan babi-babi).” ([11])

Semua kalimat yang dilontarkan ‘Aisyah kepada mereka benar adanya, bahkan semua ada dalilnya di dalam Al-Quran. ‘Aisyah mengatakan bahwa orang Yahudi terlaknat. Sebagaimana Allah ﷻ telah berfirman,

لُعِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى لِسَانِ دَاوُودَ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ

“Telah terlaknat orang-orang kafir dari Bani Israil (Yahudi) dengan lisan Daud dan ‘Isa putra Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (QS Al Maidah: 78)

Allah ﷻ berfirman dalam ayat yang lain,

كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ ۚ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah: 79)

‘Aisyah juga mengatakan kepada mereka bahwasanya mereka dimurkai oleh Allah. Sebagaimana firman Allah ﷻ,

غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ

“Bukan dari jalan orang-orang yang dimurkai.” (QS. Al-Fatihah: 7)

‘Aisyah juga benar akan perkataannya bahwa mereka adalah saudara babi-babi dan monyet-monyet, dan benar. Sebagaimana Allahﷻ berfirman kepada sebagian yahudi di masa lalu,

كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ

“Jadilah kalian kera-kera yang hina.” (QS Al-Baqarah: 65)

Dalam ayat yang lain Allah ﷻ berfirman,

قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُمْ بِشَرٍّ مِنْ ذَلِكَ مَثُوبَةً عِنْدَ اللَّهِ مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِير

“Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang orang-orang yang kedudukannya lebih buruk disisi Allah? Mereka adalah orang yang dilaknat oleh Allah dan dimurkai oleh Allah, dan Di antara mereka ada yang diubah menjadi babi-babi dan monyet-monyet.” (QS Al Maidah: 60)

Ternyata perkataan-perkataan ‘Aisyah i benar ketika mencela orang-orang Yahudi. Bahkan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mencela mereka dalam rangka membela Rasulullah ﷺ. Tetapi ternyata sikap yang dilakukan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha tetap ditegur oleh Rasulullah ﷺ.

Oleh karena itu, tatkala kita menyeru manusia kepada tauhid, mendakwahkan mereka kepada sunah, dan membantah orang-orang yang salah, hendaknya kita menyampaikannya dengan kata-kata yang lembut. Kepada orang-orang Yahudi saja kita diperintahkan memilih kata-kata yang baik apalagi kepada sesama muslim. Bahkan kepada orang kafir sekalipun apabila kita mendebatnya, hendaknya kita mendebat dengan cara yang baik. Allah ﷻ berfirman,

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Janganlah kalian mendebat ahli kitab, kecuali dengan cara yang terbaik.” (QS. Al-Ankabut: 46)

Jika dengan ahli kitab saja kita diperintahkan berdebat dengan cara yang baik. Apalagi dengan sesama muslim, dengan orang yang sama-sama mengucapkan kalimat “Laa ilaha illallah”.

Oleh karena itu, hendaknya kita menjaga lisan-lisan kita. Hendaknya kita mengingat akibat apabila tidak menjaga lisan yaitu dibenci oleh Allah. Lisan kita kecil tetapi dapat menimbulkan bahaya yang sangat besar. Meskipun isinya benar tetapi kotor atau disampaikan dengan cara yang kasar, misalnya dengan mengejek orang lain, menjatuhkan harga dirinya, menyindir orang lain, tetaplah dibenci oleh Allah ﷻ. Apabila seseorang sudah dibenci oleh Allah maka apa lagi yang diharapkan dari kebaikan. Padahal kita bersusah payah agar mendapatkan cinta dari-Nya, tetapi kita malah gampang melakukan perbuatan dan perkataan yang mendatangkan kebencian Allah ﷻ.

Sebelum seseorang berbicara, hendaknya dia pikirkan terlebih dahulu akibatnya. Jangan asal bicara karena itu merupakan ciri yang tidak baik, bisa jadi dia tidak sadar telah menyakiti hati orang lain. Seorang penyair berkata,

الصَّمْــتُ زَيْـنٌ وَالسُّـكُوْتُ سَـلاَمَةٌ *** فَإِذَا نَطَقْتَ فَلَا تَكُـنْ مِكْثَـاراً

فـَإِذَا نَــدِمْتَ عَلَى سُــكُوْتِكَ مَـرَّةً *** فَلْتَنْدَمْ عَلَـى الْكَلَامِ مِـرَاراً

Tidak berbicara itu adalah keindahan, dan diam adalah keselamatan. Jika kau pun harus berbicara maka janganlah banyak bicara.

Kalaupun engkau menyesal karena engkau diam, sungguh engkau akan berkali-kali menyesal karena perkataanmu. ([12])

Hendaknya setiap orang menjaga lisannya. Berusaha berkata-kata yang baik yang tidak menyinggung perasaan orang lain. Bukan hanya dalam berdakwah, bahkan dalam skala kecil seperti terhadap istri, terhadap suami, terhadap anak-anak, jangan terbiasa dengan kata-kata kotor dan kasar yang dapat mendatangkan kebencian Allah ﷻ.

Footnote:

__________

([1]) HR. Tirmizi no. 2002, hadits ini hasan sahih.
([2]) HR. Tirmizi no. 2002, hadits ini hasan sahih.
([3]) Lihat Mu’jam Maqoyiis al-Lughoh, Ibn Faris 4/478. Dikatakan seperti ketika ada yang ditanya tentang darah kutu apakah najis?, maka dijawab إِن لَمْ يَكُنْ فَاحِشًا فَلَا بأْس “Jika tidak banyak maka tidak mengapa” (Lihat Lisan al-Árob 6/326).
([4]) Lihat: Syarh Sahih Al-Bukhari Li Ibnu Baththal 9/299.
([5]) Lihat Áunul Ma’bud 11/100.
([6]) HR Ahmad no 6487 dan dinilai shahih oleh para penyunting Musnad al-Imam Ahmad.
([7]) HR. Muslim no. 2591.
([8]) HR. Muslim no. 2165.
([9]) HR. Muslim no. 2594.
([10]) HR. Ahmad no. 24735.
([11]) HR. Ishaq bin Raahawaih no. 1685 di dalam Musnadnya.
([12]) Ghurar Al-Khasais Al-Wadhihah, 1/232.