بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Selasa, 05 Agustus 2025

Tadabbur Al Quran hal. 425

Tadabbur Al-Quran Hal. 425
----------------------------------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Al Qur'an Indonesia Tajwid.

Al-Ahzab ayat 52

لَا يَحِلُّ لَكَ النِّسَاۤءُ مِنْۢ بَعْدُ وَلَآ اَنْ تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنْ اَزْوَاجٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكَ حُسْنُهُنَّ اِلَّا مَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ رَّقِيْبًا ࣖ

Tidak halal bagimu (Muhammad) menikahi perempuan-perempuan (lain) setelah itu, dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang engkau miliki. Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.

Asbabun Nuzul Al-Ahzab ayat 52

Diriwayatkan oleh Sa'id yang bersumber dari 'Ikrimah, bahwa setelah Rasulullah saw. Menyuruh istrinya memilih antara dunia dan segala kemewahanya dengan Allah dan Rasul-Nya, terbuktilah istri-istrinya memilih Allah dan Rasul-Nya.

Tafsir Al Muyassar Al-Ahzab ayat 52

Tidak halal bagimu menikahi wanita lain setelah para istrimu Ummahatul Mukminin, tidak halal juga bagimu untuk mentalak mereka dan menikah dengan selain mereka sebagai penganti mereka. (Hal ini sebagai penghargaan kepada Ummahatul Mukminin dan ungkapan terima kasih atas kebaikan mereka selama ini yang memilih Allah, Rasul-Nya dan alam akhirat), sekalipun kamu mengagumi kecantikan wanita lain tersebut, kecuali hamba-hamba sahaya wanita, mereka halal bagimu. Allah Maha Mengawasi segala sesuatu, tidak ada sesuatu pun yang samar bagi-Nya.

Hadis Motivasi QS 33: 53

Dari Abu Hurairah dari Rasulullah. beliau bersabda: "Perempuan itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya. dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung." (HR Bukhari. 4802)

HADIS NIAGA QS AI-Ahzāb, 33: 53

Malu ketika Berbuat Maksiat kepada Allah

Dari Abdulah bin Umar dia mengatakan bahwa Nabi pernah melewati seorang laki-laki yang tengah mencela saudaranya karena pemalu. Laki- laki itu berkata, "Sesungguhnya, kamu selalu malu hingga hal itu akan membahayakanmu." Rasulullah kemudian bersabda: "Biarkanlah dia karena sesungguhnya sifat malu itu bagian dari iman." (HR Bukhari, 24, 6118; Muslim, 36)

AMAL NIAGA

1. Milikilah rasa malu karena malu merupakan kesempurnaan iman. Seorang pemalu enggan berbuat maksiat. Rasa malu itu akan mendorongnya untuk melaksanakan ketaatan kepada Allah .
2. Peliharalah rasa malu dalam diri karena malu merupakan fitrah setiap manusia. Dia akan berkembang dan bertambah baik jika Anda memegang teguh adab-adab dalam syariat. menerangkan bahwa malu bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, dan merasa bahwa Allah dekat dengannya. 
3. lbnu Rajab menerangkan bahwa malu bisa diperoleh dari mengenal Allah, mengenal keagungan Allah, dan merasa bahwa Allah dekat dengannya.

Tadabbur Surah Al-Ahzab Ayat 51-54

1. Ayat 51 dan 52 masih meneruskan hukum pada ayat-ayat sebelumnya terkait Nabi Muhammad saw. dan kaum mukmin. Allah bebaskan Nabi saw. memilih wanita yang datang untuk dinikahi dan dibebaskan juga menggilir malam para istrinya. Namun demikian, Nabi saw. tetap menerapkan sistem giliran malam tersebut agar hati para istri Beliau tenteram, tidak bersedih dan ridha. Setelah ayat ini turun, Rasul saw. dilarang untuk menikah lagi, atau mengganti istrinya dengan istri yang lain kendati kecantikannya mengagumkan Beliau, kecuali hamba sahaya masih dibolehkan. 
2. Ayat 53 dan 54 menjelaskan adab kaum  mukmin terhadap Rasul saw. Di antaranya, tidak boleh masuk ke rumah Rasul saw. kecuali setelah diizinkan dan tidak boleh menunggu makanan sampai matang. Kalau diundang makan, segera bubar setelah makan dan tidak  boleh mengobrol panjang, karena mengganggu dan membuat Nabi malu. Bila meminta keperluan kepada istri-istrinya maka mintalah  dari belakang hijab dan tidak boleh menikahi  mereka karena kedudukan mereka adalah ibu  bagi kaum mukmin. Allah Mengetahui apapun  yang kita tampakkan atau sembunyikan. 

Senin, 04 Agustus 2025

Apakah Orang Kafir Akan Ditanya Di Alam Kubur?

Alam Kubur (10)
---------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Apakah Orang Kafir Akan Ditanya Di Alam Kubur?

Terdapat dalil bahwa semua mayit akan mengalami fitnah (ujian) kubur, yaitu mendapatkan pertanyaan dari malaikat di alam kubur. Apakah pertanyaan malaikat ini khusus hanya untuk setiap orang yang beriman atau juga dialami oleh orang kafir?

By Muhammad Saifudin Hakim 25 December 2014

Terdapat dalil bahwa semua mayit akan mengalami fitnah (ujian) kubur, yaitu mendapatkan pertanyaan dari malaikat di alam kubur. Apakah pertanyaan malaikat ini khusus hanya untuk setiap orang yang beriman atau juga dialami oleh orang kafir? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini dan terbagi dalam dua pendapat.

Pendapat pertama, orang kafir tidak ditanya di alam kubur. Ini adalah pendapat ‘Ubaid bin ‘Umair (ulama terkemuka dari kalangan tabi’in) dan juga pendapat Ibnu Abdil Barr rahimahumullah.

‘Ubaid bin ‘Umair berkata,”Yang mendapatkan pertanyaan kubur hanya dua orang, yaitu orang mukmin dan orang munafik. Adapun orang kafir, maka mereka tidak ditanya tentang Muhammad dan mereka juga tidak mengenalnya” (Fathul Baari, 3/238).

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, “Hadis-hadis dalam masalah ini (fitnah kubur) hanyalah menunjukkan bahwa fitnah kubur tidaklah dialami kecuali hanya bagi orang beriman dan orang munafik yang ketika di dunia menisbatkan (mengaku) dirinya sebagai orang Islam yang terjaga darahnya karena mengucapkan dua kalimat syahadat. Adapun orang kafir yang ingkar, maka tidaklah termasuk orang-orang yang ditanya tentang Rabb-nya, agamanya, dan Nabi-nya. Yang ditanya tentang hal itu hanyalah orang muslim saja” (At-Tamhid, 22/251).

Pendapat ini dapat dibantah dengan mengatakan bahwa justru orang kafir itu lebih layak untuk ditanya daripada selain mereka. Allah Ta’ala memberitakan bahwa orang kafir akan ditanya pada hari kiamat,
فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِين
َ
“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami)” (QS. Al-A’raf [7]: 6).

Jika mereka ditanya di hari kiamat, bagaimana mungkin mereka tidak ditanya di kubur mereka?

Pendapat ke dua, orang kafir akan ditanya di kubur mereka. Pendapat ini dipilih oleh Abu Abdillah Al-Qurthubi (dalam kitab At-Tadzkirah bi Ahwalil Mauta wa Umuuril Akhiroh, 1/415), Ibnul Qayyim (dalam kitab Ar-Ruh, hal. 228), dan Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahumullah (dalam kitab Fathul Baari, 3/238). Mereka berdalil dengan keumuman dalil yang menunjukkan adanya pertanyaan (fitnah) kubur bagi mayit.

Pendapat yang lebih tepat (rajih) adalah pendapat kedua, bahwa orang kafir akan ditanya di alam kubur mereka. Hal ini karena beberapa alasan berikut ini:

Alasan pertama, yaitu keumuman dalil yang menunjukkan bahwa mayit akan ditanya di alam kubur dan tidak dibedakan apakah mayit tersebut muslim atau orang kafir.

Alasan ke dua, yaitu hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ العَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ، وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ، أَتَاهُ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ، فَيَقُولاَنِ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ لِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَّا المُؤْمِنُ، فَيَقُولُ: أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ، فَيُقَالُ لَهُ: انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنَ الجَنَّةِ، فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا، قَالَ: وَأَمَّا المُنَافِقُ وَالكَافِرُ فَيُقَالُ لَهُ: مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ؟ فَيَقُولُ: لاَ أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ، فَيُقَالُ: لاَ دَرَيْتَ وَلاَ تَلَيْتَ، وَيُضْرَبُ بِمَطَارِقَ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً، فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ غَيْرَ الثَّقَلَيْنِ
“Sesungguhnya seorang hamba jika telah dimakamkan di kuburnya, dan sahabat-sahabatnya (yang mengiring jenazahnya) telah pulang, maka sungguh dia akan mendengar suara langkah sandal mereka. Kemudian dua orang malaikat mendatanginya dan mendudukkannya. Dua orang malaikat tersebut berkata kepadanya,

‘Apa yang dulu Engkau katakan tentang orang ini –yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-?’

Adapun orang beriman, maka dia akan menjawab, ’Aku bersaksi bahwa dia (Muhammad) adalah hamba dan utusan-Nya.’

Maka dikatakan kepadanya, ‘Lihatlah tempat dudukmu di neraka. Sungguh Allah telah menggantinya dengan tempat duduk di surga.’ Maka dia melihat dua-duanya sekaligus.

Adapun orang munafik dan orang kafir, maka ditanyakan kepada mereka, ‘Apa yang dulu Engkau katakan tentang orang ini –yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-?’

Maka mereka berkata, ‘Aku tidak tahu. Aku dulu mengatakan apa yang dikatakan oleh kebanyakan manusia.’

Malaikat berkata, ‘Engkau tidak tahu dan Engkau tidak mengikuti.’ Malaikat kemudian memukulnya dengan palu dari besi, dia pun berteriak sampai-sampai didengar oleh makhluk yang berada di atasnya, selain jin dan manusia” (HR. Bukhari no. 1374).

Hadits ini tegas menunjukkan bahwa orang kafir akan ditanya di kubur mereka. Maka jelaslah bahwa pendapat yang benar adalah bahwa orang kafir akan ditanya di alam kuburnya dan orang kafir justru lebih layak ditanya daripada orang beriman. Jika telah pasti bahwa orang kafir akan ditanya pada hari kiamat, maka tidak ada penghalang bagi mereka untuk juga ditanya di alam kuburnya. [1]

Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizahullah berkata, “Para ulama berbeda pendapat apakah pertanyaan di alam kubur bersifat umum, yaitu bagi kaum muslimin, orang munafik, dan orang kafir atau hanya khusus bagi orang muslim dan orang munafik? Ada yang berpendapat, (fitnah kubur) hanya khusus bagi muslim dan munafik dan bukan untuk orang kafir. Ada juga yang berpendapat bahwa fitnah kubur bersifat umum bagi orang kafir dan orang muslim. Pendapat inilah yang ditunjukkan oleh dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah, dan mengecualikan orang kafir dari fitnah kubur adalah (pendapat yang) tidak berdasar.” [2]

Wallahu a’lam.

Catatan kaki:

[1] Disarikan dari Al-Imaan bimaa Ba’dal Maut: Masaail wa Dalaail, karya Ahmad bin Muhammad bin Shadiq An-Najar, Daar An-Nashihah, cetakan pertama, tahun 1434, hal. 43-46.

[2] Dikutip dari Al-Irsyad ila Shahihil I’tiqod, karya Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah, tahqiq: Abu Hafz Al-Atsary, Maktabah Salsabila, cetakan pertama, hal. 220.