بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Sabtu, 16 Oktober 2021

Tingkatan-tingkatan Ibadah Sunnah

Sesungguhnya ibadah-ibadah sunnah itu memiliki tingkatan-tingkatan dalam penekanan pelaksanannya. Sebagian ibadah sunnah memiliki tingkatan yang lebih tinggi dibandingkan ibadah sunnah yang lainnya.

Misalnya, tingkatan ibadah dalam shalat sunnah. Dua rakaat shalat qabliyah Subuh (dua rakaat fajar) dan shalat witir itu sangat ditekankan dibandingkan shalat rawatib lainnya. Untuk dua shalat sunnah tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga pelaksanaannya, baik beliau dalam kondisi safar ataupun tidak safar (dalam kondisi muqim). Sedangkan untuk shalat rawatib yang lain, beliau menjaga pelaksanaannya ketika beliau tidak dalam kondisi safar, dan beliau meninggalkannya ketika beliau dalam kondisi safar.

Ibnul Qayyim rahimahullahu Ta’ala berkata :

"Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar adalah mengqashar (meringkas) shalat, dan tidak terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi mengerjakan shalat sunnah sebelum atau sesudah shalat wajib, kecuali shalat sunnah witir dan shalat sunnah fajar. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan keduanya, baik dalam kondisi safar atau pun tidak safar (muqim).” [Zaadul Ma’aad, 1: 473]

Setelah itu, tingkatan berikutnya ada shalat dhuha, kemudian shalat yang memiliki sebab (dzawaatul asbaab), seperti shalat tahiyyatul masjid dan shalat dua rakaat thawaf.

Demikian pula puasa, seperti puasa Daud (sehari puasa, sehari tidak puasa), kemudian puasa hari Arafah, kemudian puasa hari Asyura, kemudian puasa tiga hari setiap bulan (Hijriyah), kemudian puasa Senin-Kamis, dan seterusnya untuk ibadah puasa sunnah lainnya.

Sehingga secara umum, ibadah sunnah dibagi dalam dua tingkatan:

Pertama, sunnah mu’akkad.

Yaitu ibadah yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam secara rutin dan kontinyu (terus-menerus), dan diiringi dengan adanya motivasi langsung dari lisan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Misalnya, shalat sunnah dua rakaat qabliyah subuh. Diriwayatkan dari ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata :

ﻟَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻠَﻰ ﺷَﻲْﺀٍ ﻣِﻦْ ﺍﻟﻨَّﻮَﺍﻓِﻞِ ﺃَﺷَﺪَّ ﻣِﻨْﻪُ ﺗَﻌَﺎﻫُﺪًﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻲْ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ

Tidak ada shalat sunnah yang lebih Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tekuni daripada dua rakaat fajar (shalat sunnah qabliyah Subuh).” [HR. Bukhari no. 1163 dan Muslim no. 724]

Juga diriwayatkan dari ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau berkata,

ﺭَﻛْﻌَﺘَﺎ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻣَﺎ ﻓِﻴﻬَﺎ

Dua rakaat fajar itu lebih baik dari dunia seisinya.” [HR. Muslim no. 725]

Kedua, sunnah ghairu mu’akkad.

Yaitu ibadah sunnah yang tidak dirutinkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya shalat empat rakaat sebelum shalat Ashar. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memotivasi untuk mengerjakannya, namun beliau tidak merutinkannya. Termasuk dalam ibadah sunnah ghairu mu’akkad adalah semua ibadah yang terdapat motivasi secara lisan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun tidak dinukil dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau merutinkannya.

Misalnya, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

ﺗَﺎﺑِﻌُﻮﺍ ﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﺤَﺞِّ ﻭَﺍﻟْﻌُﻤْﺮَﺓِ ﻓَﺈِﻧَّﻬُﻤَﺎ ﻳَﻨْﻔِﻴَﺎﻥِ ﺍﻟْﻔَﻘْﺮَ ﻭَﺍﻟﺬُّﻧُﻮﺏَ ﻛَﻤَﺎ ﻳَﻨْﻔِﻲ ﺍﻟْﻜِﻴﺮُ ﺧَﺒَﺚَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺪِ ﻭَﺍﻟﺬَّﻫَﺐِ ﻭَﺍﻟْﻔِﻀَّﺔِ ﻭَﻟَﻴْﺲَ ﻟِﻠْﺤَﺠَّﺔِ ﺍﻟْﻤَﺒْﺮُﻭﺭَﺓِ ﺛَﻮَﺍﺏٌ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔُ

Lakukanlah haji dan umrah dalam waktu yang berdekatan, karena keduanya dapat menghilangkan kemiskinan dan menghapus dosa, sebagaimana al-kiir (alat yang dipakai oleh pandai besi) menghilangkan karat besi, emas, dan perak. Tidak ada balasan bagi haji yang mabrur kecuali surga.” [HR. Tirmidzi no. 810, An-Nasa’i no. 2630, Ibnu Majah no. 2887, Ahmad no. 3660, dinilai shahih oleh Al-Albani]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memotivasi untuk umrah di bulan Ramadhan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada salah seorang wanita Anshar:

ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺟَﺎﺀَ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥُ ﻓَﺎﻋْﺘَﻤِﺮِﻱ ، ﻓَﺈِﻥَّ ﻋُﻤْﺮَﺓً ﻓِﻴﻪِ ﺗَﻌْﺪِﻝُ ﺣَﺠَّﺔً ﻣَﻌِﻲ

Jika datang bulan Ramadhan, lakukanlah umrah. Karena umrah di bulan Ramadhan itu senilai dengan haji bersamaku.” [HR. Bukhari no. 1782 dan Muslim no. 1256]

Meskipun demikian, beliau tidaklah melaksanakan umrah sepanjang hidup beliau kecuali empat kali umrah saja, dan satu kali melaksanakan ibadah haji.

Disarikan dari kitab Ghayatul Ma’muul fi Syarhi Al-Bidaayah fil Ushuul, hal. 84-86 (penerbit Daar Ibnu Rajab, cetakan pertama tahun 1433).

ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ … ﻭﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺳﻠﻢ

Penulis: M. Saifuddin Hakim hafidzahullah

Sumber: Artikel Muslim.Or.id