بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Kamis, 18 Agustus 2022

DUNIA HANYA JEMBATAN

Tematik (93)
---------------------
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

DUNIA HANYA JEMBATAN
Yahya bin Mu’adz rahimahullah mengingatkan
"Dunia hanya jembatan menuju akhirat. Lewati saja dan jangan memperindahnya. Tidak masuk akal membangun istana diatas jembatan." [Al-Hilyah 3/260]

Oleh: Muhammad Setiawan Al Balinisty

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِي فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ [وَعُدَّ نَفْسَكَ مِنْ أَهْلِ الْقُبُوْرِ] وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرْ الْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasûlullâh ﷺ memegang kedua pundakku, lalu bersabda, ‘Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau seorang musafir’ [dan persiapkan dirimu termasuk orang yang akan menjadi penghuni kubur (pasti akan mati)].”

Hadits ini merupakan landasan agar manusia tidak memiliki angan-angan yang panjang di dunia. Seorang mukmin yang beriman tidak sepantasnya menganggap dunia ini sebagai tempat tinggalnya yang abadi. Namun, seyogyanya ia menganggap hidup di dunia ini seperti musafir yang sedang menyiapkan bekal bepergian menempuh perjalanan yang teramat panjang.

Safarnya Manusia Di Dunia

Disadari atau tidak, dunia ini hanyalah tempat persinggahan, dan kita sebagai manusia hakikatnya adalah seorang musafir yang sedang berjalan menuju pertemuan dengan pencipta kita Rabb al-‘Alamin. Saat ini kita sudah, tengah dan akan menempuh berbagai macam fase kehidupan. Kita telah menempuh fase janin, dan saat ini berada pada fase yang kedua yaitu fase kehidupan dunia. Selanjutnya, kita akan masuk pada fase ketiga yaitu fase alam barzakh, yang entah berapa lama kita akan berada di fase tersebut. Setelah itu, kita akan masuk pada fase berikutnya yaitu fase kebangkitan di padang mahsyar yang satu hari pada hari itu seperti lima puluh ribu tahun di dunia. Hingga akhirnya, barulah kita akan memasuki fase penentuan, apakah kita akan dimasukkan ke dalam surga atau dilemparkan ke neraka jahanam. Sesungguhnya saat ini kita semua sedang berjalan di antara antrian menuju kematian, yang kita sendiri tidak tahu siapa yang ada di depan kita maupun siapa yang ada di belakang kita. Intinya, kita tengah menempuh perjalanan menuju alam barzakh, yang merupakan fase berikutnya setelah fase kehidupan dunia ini.

Maka seyogyanya seorang muslim yang berakal menyadari bahwa keberadaannya di dunia ini tidak lain seperti seseorang yang melakukan safar. Dan di dalam safarnya tersebut mesti banyak-banyak beramal kebaikan sebagai bekal untuk perjalanan berikutnya sekaligus waspada dan berhati-hati di kala safarnya karena akan banyak aral rintangan yang kelak menghadangnya. Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menuturkan,

الناس منذ خلقوا لم يزالوا مسافرين، وليس لهم حط عن رحالهم إلا في الجنة أو النار.

والعاقل يعلم أن السفر مبني على المشقة وركوب الأخطار.

“Sejak manusia dilahirkan, mereka akan memulai perjalanannya. Perjalanan ini tidak ada ujungnya melainkan kepada surga atau neraka. Orang yang memahami hal ini pasti menyadari bahwa safar adalah sesuatu yang penuh kesulitan dan menghadapi paparan resiko berbahaya.” [Sumber: Al-Fawaid, hlm. 165]

Hakekat Dunia Ini Semu dan Sebentar

Allah ﷻ telah menyebutkan tentang hakikat dunia dalam banyak ayat dalam Al-Qur'an. Di antaranya seperti firman Allah ﷻ,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allâh serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang palsu.” (QS. Al-Hadid: 20)

Dan firman Allah ﷻ,

فَمَا مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ

Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit.” (QS. At-Taubah: 38)

Demikian juga firman Allah ﷻ,

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali-‘Imran: 185)

Serta masih banyak lagi ayat-ayat yang bermakna semacam ini di dalam Al-Qur'an, yaitu Allâh ﷻ menyebutkan bahwasanya kehidupan di dunia ini isinya hanya berupa kenikmatan yang semu.

Selain semu, kehidupan di dunia ini juga sementara atau sebentar saja. “Sementara” bisa dikonotasikan dunia ini waktunya lebih singkat jika dibandingkan dengan fase-fase kehidupan setelahnya.

Coba kita renungkan, fase yang pasti dijalani manusia. Dimulai dari fase janin yang kurang lebih hanya selama sembilan bulan. Lalu, kehidupan kita di dunia cuma berkisar 60-70 tahun, bahkan bisa jadi kurang daripada itu, dan sangat sedikit yang bisa lebih daripada itu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ,

أَعْمَارُ أُمَّتِـي مَا بَيْنَ السِّتِّيْنَ إِلَى السَّبْعِيْنَ وَأَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوزُ ذَلِكَ

“Umur-umur umatku antara 60 hingga 70 tahun, dan sedikit orang yg bisa melampui umur tersebut.” (HR. Ibnu Majah: 4236, Syaikh Al Albani mengatakan: hasan shahih)

Artinya, ada orang-orang yang Allah ﷻ berikan usia lebih dari tujuh puluh tahun, akan tetapi hal itu jarang. Kebanyakannya adalah seseorang maksimal usianya berkisar 60-70 tahun. Kemudian, seseorang akan masuk di alam barzakh, yang tidak seorang pun tahu berapa lama dia akan berada di fase tersebut. Setelah itu, di fase padang mahsyar, seseorang akan berada di sana selama 50.000 tahun, dan terakhir seseorang akan abadi di surga atau di neraka.

Dari keadaan ini kita sudah bisa melihat, fase yang akan seseorang jalani setelah fase kehidupan dunia sangatlah lama, bahkan lamanya waktu tersebut menjadi tidak ada bandingannya dengan waktu hidup seseorang di dunia. Karena tidak ada bandingannya sama sekali itulah maka Allah ﷻ telah menggambarkan bagaimana manusia ketika kelak sesudah melihat hari kiamat,

كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا

“Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari.” (QS. An-Nazi’at: 46)

Pada hari kiamat kelak, manusia akan merasakan bahwasanya mereka seakan-akan hidup satu sore atau hanya sampai di waktu duha. Bisa dikatakan itu seakan-akan waktu yang sangat singkat. Dan mereka merasakan demikian, karena mereka melihat betapa dahsyatnya hari kiamat ketika itu. Sama halnya ketika Allah ﷻ bertanya kepada manusia ketika mereka telah dibangkitkan,

قَالَ كَمْ لَبِثْتُمْ فِي الْأَرْضِ عَدَدَ سِنِينَ، قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ فَاسْأَلِ الْعَادِّينَ

“Dia (Allâh) berfirman, ‘Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?’ Mereka menjawab, ‘Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada mereka yang menghitung’.” (QS. Al-Mu’minun: 112-113)

Cukup banyak Allâh ﷻ mengabarkan di dalam Al-Qur'an bahwa kehidupan dunia itu sementara semata. Dalil yang menunjukkan bahwa hidup manusia di dunia ini hanya sebentar atau sementara di antaranya seperti firman Allâh ﷻ,

مَتَاعٌ قَلِيلٌ

“(Dunia) itu hanyalah kesenangan sementara.” (QS. Ali-‘Imran: 197)

Dari kabar Allâh ﷻ di atas telah gamblang bahwa hidup kita di dunia ini sangat singkat sekali, yang artinya waktu kita untuk mempersiapkan kehidupan akhirat pun tidaklah banyak, maka pertanyaannya kemudian, berapa waktu dari seluruh umur kita untuk Allâh ﷻ yang pada hakikatnya menjadi usia kita yang sebenarnya? Sangat sedikit tentunya. Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Waktu manusia adalah umurnya yang sebenarnya. Waktu tersebut adalah waktu yang dimanfaatkan untuk mendapatkan kehidupan yang abadi, penuh kenikmatan dan terbebas dari kesempitan dan adzab yang pedih. Ketahuilah bahwa berlalunya waktu lebih cepat dari berjalannya awan (mendung).

Barangsiapa yang waktunya hanya untuk ketaatan dan beribadah pada Allâh, maka itulah waktu dan umurnya yang sebenarnya. Selain itu tidak dinilai sebagai kehidupannya, namun hanya teranggap seperti kehidupan binatang ternak.”

Maka, agar kita tidak seperti hewan ternak ketika di dunia, mari simak nasehat indah Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu,

اِرْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً، وَارْتَحَلَتِ الْآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُوْنٌ، فَكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَاءِ الْآخِرَةِ، وَلَا تَكُوْنُوْا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلَا حِسَابٌ وَغَدًا حِسَابٌ وَلَا عَمَلٌ

"Sesungguhnya dunia akan pergi meninggalkan kita, sedangkan akhirat pasti akan datang. Masing-masing dari dunia dan akhirat memiliki anak-anak, karenanya, hendaklah kalian menjadi anak-anak akhirat dan jangan menjadi anak-anak dunia, karena hari ini adalah hari amal bukan hisab, sedang kelak adalah hari hisab bukan amal." (Shahîhul Bukhâri, kitab: ar-Riqâq, bab: fil Amali wa Thûlihi, Fathul Bâri XI/235. Lihat juga Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, II/378)

Bagi siapa pun yang sadar dan bisa merasakan bahwasanya "waktu berlalu dan dunia ini semakin menjauh' dari diri kita, sudah semestinya dia mempersiapkan dirinya dari keadaan tersebut. Bahwa seiring berlalunya waktu, berlalu pula kesempatan untuk beramal sholih. Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

يَا ابْنُ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيّامٌ فَإِذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ، وَيُوشِكُ إِذَا ذَهَبَ بَعْضُكَ أَنْ يَذْهَبَ كُلَّكَ

“Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari-hari. Maka apabila telah pergi sebagian hari-hari, maka pergi pula sebagian dari dirimu. Dan dikhawatirkan jika telah pergi sebagian dari dirimu, maka akan hilang seluruh dari dirimu.” [Fashl al-Khitab fi Az-Zuhd wa Ar-Raqaaiq wa Al-Adab, (3/509)]

Begitu pula Ja’far bin Sulaiman berkata bahwa dia mendengar Rabi’ah menasihati Sufyan Ats-Tsauri,

إنما أنت أيام معدودة، فإذا ذهب يوم ذهب بعضك، ويوشك إذا ذهب البعض أن يذهب الكل وأنت تعلم، فاعمل.

“Sesungguhnya engkau hanyalah kumpulan hari. Jika satu hari berlalu, maka sebagian dirimu juga akan hilang. Bahkan hampir-hampir sebagian harimu berlalu, lalu hilanglah seluruh dirimu, sedangkan Engkau mengetahuinya. Oleh karena itu, beramallah.” [Shifatush Shofwah, 2: 245]

Tertipu Dunia/Tidak Akan Cenderung Pada Dunia

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata,

لا ينبغي للعاقل أن يركن إلى الدنيا، أو يغتر بها، أو يلهو بها عن الآخرة

“Tidak sepantasnya seorang yang berakal sehat itu cenderung kepada dunia, tertipu dengannya, atau terpalingkan dari akhirat karenanya.” [Syarh Riyadhush Shalihin, jilid 3, hlm. 356]

Allâh ﷻ juga memperingatkan hamba-Nya melalui firman-Nya dalam banyak ayat Al-Qur'an, yang salah satunya berbunyi,

فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا

“Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdaya kamu.” (QS. Luqman [31]: 33)

Dalam ayat ini, Allâh ﷻ melarang kita untuk terperdaya dengan kehidupan dunia, tertipu dengan segenap gemerlapnya, sehingga sia-sialah waktunya, terluput dari berbagai amal shalih, sebab dunia ini semata permainan dan senda gurau belaka. Terlarangnya seorang muslim menghabiskan seluruh dunia ini, siang dan malam, demi untuk mengumpulkan harta benda saja atau hanya untuk berlomba-lomba perihal teknologi dan sejenisnya. Hal ini sebagaimana kondisi orang-orang kafir di zaman ini, yang menghabiskan segenap dunianya untuk sesuatu yang tidak abadi.

Akan tetapi, bukan berarti seorang muslim tidak boleh memanfaatkan dunia ini bahkan kemajuan teknologi di dalamnya. Melainkan hendaknya kita memanfaatkan ini semua dengan tujuan membantu ketaatan kepada Allâh ﷻ. Karena Allâh ﷻ menciptakan dunia ini dan apa yang ada di dalamnya untuk hamba-hamba-Nya yang beriman. Allâh ﷻ berfirman,

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Katakanlah, “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allâh yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?” Katakanlah, “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.” (QS. Al-A’raf [7]: 32)

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allâh) bagi kaum yang berfikir.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 13)

Namun, sekali lagi, bukan berarti kita lantas tersibukan dengan riuh kehidupan dunia lalu lalai dengan kehidupan akhirat. Justru maksudnya adalah sibukkanlah dunia ini dengan niat untuk menolong diri kita dalam ketaatan kepada Allâh ﷻ. Contohnya, terlalu banyak dalil dalam Al-Qur'an maupun hadits bahwasanya kita diperintahkan untuk berinfak, kita diperintahkan untuk membantu orang lain, kita diperintahkan untuk membantu fakir miskin dan anak yatim, dan bahkan kita diperintahkan untuk memberi dan berbuat baik kepada kerabat. Akan tetapi, untuk melakukan itu semua, akan kurang sempurna jika kita tidak memiliki dunia. Ketahuilah, barangsiapa yang memanfaatkan dunia ini dan menyibukkannya untuk kebaikan dan maslahat agama dan dunianya, merekalah orang-orang yang beruntung. Akan tetapi, barangsiapa yang sibuk dengan dunia dan menjadikan dunia itu sendiri sebagai tujuan dan hasratnya, mereka ini sebagaimana firman Allâh ﷻ,

اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الْآخِرَةِ إِلَّا مَتَاعٌ

“Allâh meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” (QS. Ar-Ra’du [13]: 26)

Artinya, sah-sah saja jika kita memanfaatkan dunia untuk menyibukkannya dengan ketaatan kepada Allâh ﷻ, sehingga kita akan memetik hasilnya di akhirat kelak. Adapun jika kita menyibukkannya dengan syahwat, maka kita akan merugi, baik di dunia, apalagi di akhirat.

Hal ini sebagaimana firman Allâh ﷻ,

خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

“Rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj [22]: 11)

Kaum muslimin yang menyibukkan dunia dengan sesuatu yang akan bermanfaat untuknya nanti di sisi Allâh ﷻ, mereka tergolong orang-orang yang beruntung, baik di dunia maupun di akhirat. Beruntung di dunia karena menyibukkan diri dalam amal kebaikan. Demikian pula, dia beruntung di akhirat karena telah memliki bekal dengan berbagai amal shalihnya.

Dengan kata lain, dunia ini dicela bukan semata-mata karena dunia itu sendiri, melainkan dicela disebabkan oleh kesalahan kita dalam memanfaatkan dunia. Dunia ibarat dua sisi mata uang yang berbeda. Dunia juga seumpama pisau. Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata: “Kehidupan dunia sebenarnya tidak tercela, sesungguhnya yang menjadikannya tercela adalah perbuatan manusia didalamnya. Dunia itu adalah jembatan menuju surga atau neraka, akan tetapi ketika nafsu syahwat terhadap dunia, keterlenaan dan keterpalingan dari Allâh ﷻ dan negeri akhirat maka dunia menjadi tercela.” [‘Uddah ash-Shobirin wa Dzakhiratu asy-Syakirin, hal. 173]

Bukankah surga dan taman-tamannya itu dibangun di atas pondasi tauhid lalu ditegakkan dengan pilarnya berupa dzikir, tasbih, tahlil, takbir, tahmid yang menyuburkan amal ketaatan? Hal ini menunjukkan bahwa dunia ini merupakan ladang, tempat bercocok tanam untuk kehidupan akhirat. Sebagaimana kata ahli ilmu,

الدنيا مزرعة للاخرة

“Dunia adalah ladang akhirat.”

Kita meyakini tidak akan hidup selama-lamanya di dunia ini. Maka alangkah bijaknya ketika kita berupaya menjadikan dunia ini sebagai tempat untuk bercocok tanam, yang akan kita tuai hasilnya kelak di akhirat.

Sebaik-baiknya Bekal Adalah Takwa

Kehidupan dunia ini sejatinya merupakan perjalanan untuk mengumpul bekal. Setiap manusia menjalani hidupnya mulai dari pagi bergulir ke malam hingga kembali ke pagi lagi, ia pun melakukan amalan-amalan dengan lisannya dengan perbuatannya, seakan ia melakukan jual beli dengan Rabbnya. Hasil dari jual beli itulah kelak menjadi bekal di akhiratnya nanti.

Allâh ﷻ berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allâh dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allâh, sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.“ (QS. Al-Hasyr: 18)

Ingatlah, setelah alam barzakh juga kita akan dibangkitkan untuk hidup dalam waktu yang sangat lama, satu harinya sama dengan 50 ribu tahun. Dan ketika itu tak ada yang berguna kecuali amal baik kita. Tak ada pakaian, tak ada sandal, matahari hanya berjarak 1 mil dari kepala dan tak ada naungan kecuali naungan-Nya.

Sungguh, kehidupan setelah kehidupan dunia ini jauh lebih lama, dan jauh lebih berat. Tentu itu membutuhkan usaha mengumpulkan bekal yang jauh lebih banyak dan jauh lebih istiqomah dalam beramal baik.

Al-Imam Sufyan ats-Tsauri rahimahullah berkata,

“Beramallah untuk duniamu sesuai keadaan tinggalmu di sana. Dan beramallah untuk akhiratmu sesuai kadar kekekalanmu di sana.” [Mawa’izh lil Imam Sufyan ats-Tsauri, hlm. 49]

Allâh ﷻ juga berwasiat dan memerintahkan di dalam al-Qur’an agar setiap manusia mengumpulkan bekal yang baik, Allâh ﷻ berfirman:

وتزودوا فإن خير الزاد التقوى

“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata dalam khutbahnya, “Sesungguhnya dunia bukan negeri yang kekal bagi kalian karena Allâh telah menetapkan kehancuran bagi dunia dan memutuskan bahwa penghuninya akan pergi. Betapa banyak bangunan yang kokoh tidak lama kemudian hancur atau roboh dan betapa banyak orang mukim yang sedang bergembira tidak lama kemudian dia meninggalkan dunia. Karena itu, hendaklah kalian —semoga Allâh merahmati kalian— memperbaiki kepergian kalian darinya dengan kendaraan paling baik yang ada pada kalian dan berbekallah, sesungguhnya bekal paling baik ialah takwa.” [Hilyatul Auliyâ’, V/325, no. 7270]

Seruan untuk berbekal dengan takwa juga pernah didengungkan Imam Syafi’i rahimahullah melalui syairnya:

تزود من التقوى فانك لا تدري….اذا جن ليل هل تعيش الى الفجرِ

Berbekallah dengan takwa sesungguhnya engkau tak mengetahui
Jika malam telah gelap, apakah engkau akan tetap hidup hingga waktu fajar

فكم من فتى امسى واصبح ضاحكا … وقد نسجت اكفانه وهو لا يدري

Betapa banyak pemuda di sore dan siang hari ia tertawa
Sementara kain kafannya telah ditenun sedang ia tidak menyadarinya

وكم من صغار يرتجى طول عمرهم…وقد ادخلت اجسادهم ظلمة القبرِ

Betapa banyak anak-anak bayi yang diharapkan memiliki umur yang panjang
Ternyata jasad-jasad mereka telah dimasukkan dalam gelapnya kubur

وكم صحيح مات دون علة … وكم من سقيم عاش حينا من الدهرِ

Betapa banyak orang-orang yang sehat, ia mati tanpa sebab
Betapa banyak orang-orang yang sakit dapat hidup hingga waktu yang panjang

وكم من عروس زينوها لزوجها …. وقد قبضت ارواحهم ليلة القدر

Betapa banyak pengantin yang telah dirias tuk pasangan hidupnya
Sementara arwah-arwah mereka telah ditetapkan kematiannya pada malam lailatul Qadar

النفس تبكي على الدنيا ….وقد علمت ان السلامة فيها ترك مافيها .

Jiwa menangisi dunia
Sementara ia mengetahui bahwa untuk selamat darinya adalah meninggalkan apa yang ada di dalamnya.

Betapa dunia ini amat melalaikan dan tidak seorang pun yang tahu kapan maut menjemputnya, maka hendaknya setiap orang pun bersiap-siap untuk hal itu. Sisa umur yang dimiliki hendaknya tidak dibuang percuma, karena sesungguhnya setiap waktu yang kita miliki itu sangat berharga, karena setiap detik dari waktu kita akan mempengaruhi(menentukan) nasib kita di alam barzakh dan akhirat nantinya. Apabila kita salah dalam menyikapi dunia, maka kita akan menyesal seumur hidup di akhirat, dan penyesalan pada hari itu tidak lagi bermanfaat. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

إِنَّ لِلَّهِ عِباداً فُطَنا تَرَكوا الدُّنْيَا وَخَافُوْا الفِتَنَا، نَظَرُوا فِيْهَا فَلَمَّا عَلِمُوْا، أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا، جَعَلُوْهَا لُجَّةً وَاتَّخَذُوْا صَالِحَ الأَعْمَالِ فِيْهَا سُفُنَا

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allâh ada yang cerdas, mereka meninggalkan dunia dan takut terhadap fitnah-fitnah. Ketika mereka memandang hakikat dunia, maka mereka tahu bahwasanya dunia bukanlah tempat tinggal yang sesungguhnya. Mereka menjadikan dunia sebagai ombak yang bisa menenggelamkan, dan lantas mereka menjadikan amal saleh sebagai kapal yang menyelamatkan mereka dari dunia.” [Diwan Asy-Syafi’i, (1/84-85)]

Musafir yang Cerdik

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah berkata,

“Seorang hamba sejak menginjakkan telapak kakinya di dunia ini, maka ia telah mulai perjalanannya menghadap Tuhannya. Lama perjalanannya adalah sepanjang usia yang ditetapkan baginya. Umur merupakan waktu perjalanan seseorang dalam dunia ini menghadap kepada Tuhannya. Kemudian Allâh ﷻ menempatkan hari-hari beserta malamnya sebagai fase-fase perjalanannya: setiap hari dan setiap malam merupakan bagian dari fase-fase perjalanan tersebut. Seseorang akan terus menempuh langkahnya fase demi fase hingga perjalanannya berakhir. Musafir yang cerdik adalah yang dapat mengambil pelajaran dari setiap fase perjalanan yang dilaluinya, sehingga ia berusaha untuk melaluinya dengan selamat dan sehat, serta membuahkan hasil. Ketika melanjutkan perjalanannya, maka ia pun memandang fase berikutnya dengan seksama. Ia juga tidak membiarkan harapannya terlalu jauh hingga membuat hatinya keras dan menumbuhkan sifat bermalas-malasan; seperti Taswif (berjanji akan melakukannya nanti atau besok), banyak berjanji, senang terlambat, dan bahkan mengulur-ulur waktu.” ['Jalan Orang Shalih Menuju Surga', hlm. 4]

Maknanya, seorang muslim yang cerdik adalah tidak menunda-nunda beramal kebaikan dan mengumpulkan bekal. Tidak pula bermalas-malasan maupun menyia-nyiakan waktunya yang singkat di dunia ini. Ia akan bergegas beramal begitu mengetahui ilmu yang baru didapatnya tanpa menunggu sakit menyergap jasadnya atau pun usia tua menghampirinya.

Dan Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma pernah mengatakan, “Jika engkau berada di sore hari, janganlah menunggu pagi hari. Dan jika engkau berada di pagi hari, janganlah menunggu sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum sakitmu dan hidupmu sebelum matimu.” (HR. Al-Bukhari, no. 6416; at-Tirmidzi, no. 2333; Ibnu Majah no. 4114)

Nasehat Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma diatas selaras dengan firman Allâh ﷻ, yaitu:

وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Rabb kalian dan menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa." (QS. Ali 'Imran: 133)

Sungguh, ketika kita bersikap menunda-nunda, khawatirnya kesempatan akan hilang karena belum tentu pada kesempatan mendatang kita akan memiliki kemampuan untuk beramal shalih.

Abu Al Jald rahimahullah mengatakan, "Menunda-nunda dalam beramal shaleh adalah salah satu dari tentara-tentara iblis." [Hilyat AlAwliya' wa Thabaqat Al Ashfiya' 6/54]

Selain bersegera beramal sholih, muslim yang cerdik juga akan memaksimalkan dunia yang ada padanya untuk dijadikan jembatan menuju akhirat. Ia tidak berlama-lama dan terbuai tinggal di jembatan karena dunia tidaklah kekal bahkan tidak juga menghiasi sehingga gemerlap jembatan yang memang bukan rumah tinggal abadinya dengan menghabiskan seluruh hidupnya.

Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata,

“Tidaklah dunia ini seluruhnya dari awal hingga akhirnya kecuali ibarat seseorang yang tertidur sejenak, kemudian bermimpi melihat sesuatu yang disenanginya, kemudian terbangun.” [Mawa’izh lil Imam al-Hasan al-Bashri, hlm. 170]

Makna tersebut diambil dari sabda Nabi Muhammad ﷺ, “Tidaklah aku di dunia ini melainkan (hanya) seperti seorang musafir yang berteduh di bawah pohon lalu beristirahat dan kemudian meninggalkannya (pohon tersebut).” (HR. at-Tirmidzi no. 3277)

Semoga Allâh ﷻ sehatkan hati kita sehingga mudah memahami bahwa dunia adalah negeri yang asing, negeri yang penuh ujian, negeri tempat berusaha, negeri yang sementara dan tidak kekal. Semoga Allâh ﷻ mudahkan kita menjadikan dunia ini sebagai jembatan menuju surga firdaus-Nya dan melewatinya dengan selamat. Dan mematikan ambisi untuk berandai-andai tinggal selamanya dan menghiasi jembatan tersebut sehingga lalai terhadap akhirat. Aamiin.